BAGIAN I
FIKSI: SELAYANG PANDANG
Mahasiswa memerlukan seseorang dosen atau buku pegangan untuk mengenalkan fiksi serius kepadanya? Alasan termudah dan mungkin yang terbaik buku pegangan memaparkan fiksi serius kepada mahasiswa. Untuk menikmati atau memahami karya yang bagus seseorang perlu membacanya terlebih dahulu. Alasan kedua, buku pegangan atau dosen dapat memberikan petunjuk pada pembaca mengenai maksud dan tehnik yang digunakan pengarang. Secara teoritis, sebagaimana yang dilakukan banyak orang pengarang dapat menemukan banyak orang, pembaca dapat menemukan sendiri. Alasan ketiga, dosen ataupun buku pegangan mampu meluruskan segala miskonsepsi gagasan-gagasan yang keliru mengenai apa dan bagaimana fiksi serius itu-yang mengintervensi pemahaman dan kenikmatan yang di peroleh pembaca.
Alasan ketiga, sebagian orang memiliki gagasan tersendiri mengenai fiksi serius itu. Jika termakontrastif ‘serius’ dan ‘populer’ ditelan bulat-bulat,dapat di simpulkan bila fiksi serius tidak dinikmati secara luas. Bahwa fiksi serius dan fiksi populer sama sekali berbeda persamaan keduanya hanya dari unsur, alur, karakter, dan latar. Pendapat lain menyatakan bahwa fiksi populer mudah di baca karena benar-benar ‘mengisahkan sesuatu’ sedangkan fiksi serius lebih sukar karean mengandung dua elemen tambahan; tema atau gagasan utama yang harus digali pembaca dan sarana sarana artistik yang harus di ketahui dan dihargai olehnya. Gagasan ketiga, fiksi populer selalu mudah dinikmati, tetapi fiksi serius dianggap lebih ‘baik’ daripadanya karena mengandung ajaran-ajaran yang berguna.
FIKSI SERIUS DAN PEMBACA
Pembaca memuji fiksi serius karena telah di ajarkan untuk berbuat demikian dan bukan karena mereka lebih menyukainya ketimbang fiksi populer. Secara implisit maupun eksplisit mereka menyebut bahwa fiksi serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna untuk kita dan bukannya memberi kenikmatan. Faktanya, fiksi serius dapat memberikan kenikmatan dan memang begitu adanya. Mereka membaca fiksi serius bukan karena suatu keharusan, melainkan karena mereka menikmatinya apa adanya. Sebagian besar fiksi serius memerlukan pembacaan dan pembacaan kembali; keduanya dilakukan dengan cermat dan tepat.
Maksud utama sebuah karya fiksi serius adalah memungkinkan pembaca membayangkan sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Pengalaman terdiri atas dua lapisan yang melekat satu sama lain. Satu bagian tersebut itu adalah fakta, sedangkan bagian lainnya adalah makna. Bagian makna merupakan bagian yang berbeda bagi tiap-tiap orang karena bergantung pada emosi, standar, dan pemahaman masing-masing atas fakta bersangkutan. Bagian lain yaitu bagian yang paling berpengaruh adalah makna dari fakta-fakta tersebut seperti persoalan yang anda berdua sedang perbicangkan, emosi yang anda rasakan, tegangan dan pengertian anda berdua, dan relevansi perbicangkan tersebut dengan pola hidup anda. Gambaran yang paling menyeluruh dari pengalaman haruslah mencakup keduanya yaitu fakta dan makna.
TEMA
Pengalaman-pengalaman yang paling kita ingat biasanya memiliki makna penting. Bahwa sebuah makna bernilai besar lebih dari kelihatannya; oleh karena langsung berhadapan langsung dengan penderitaan kita sendiri, kita dapat merasakan penderitaan orang lain. Dalam sebuah cerita, makna penting semacam ini dinamakan ‘tema’ atau ‘gagasan utama’. Tema memberi kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang diceritakan sekaligus memisahkan kehidupan dalam konteksnya paling umum.
Tema cerita sangat jarang berwujud pesan-pesan moral atau nasehat-nasehat misalnya,“kejujuran adalah yang terbaik” atau “bekerjalah dengan giat dan kau akan sukses nantinya”. Hanya sedikit pengarang yang berupaya mendidik segi moral pembaca. Pengarang memanfaatkan tema sejauh tema memberi makna dalam pengalaman. Tema bisa berwujud satu fakta dari pengalaman kemanusiaan yang di gambarkan atau diekplorasi oleh cerita seperti keberanian, ilusi, dan masa tua. Bahkan, tema juga dapat berupa gambaran kepribadian salah satu tokoh. Satu-satunya generalisasi yang paling memungkinkan darinyaadalah bahwa tema membentuk kebersatuan pada cerita dan memberi makna pada setiap peristiwa. Salah satu contoh adalah foto-foto yang ditempelkan pada buku kenangan.
Sebagian yang anda lihat adalah wujud foto-foto itu sendiri, sedangkan lain adalah makna dari foto tersebut yang masih melekat dalam ingatan. Bila seorang pengarang berkisah, dia tidak akan menjelaskan tema yang ia maksud di dalam paragraf-paragraf lain seorang pengarang akan meleburkan fakta dan tema dalam satu pengalaman. Tema akan muncul dari fakta-fakta dan memunculkan adalah pekerjaan kita.
SARANA-SARANA SASTRA
Pengarang meleburkan fakta dan tema dengan bantuan ‘sarana-sarana sastra’ seperti konflik, sudut pandang, simbolisme, ironi, dan sebagainya. Secara singkat, sarana sastra dapat dipandang sebagai semacam metode untuk memilih dan menyusun detail-detail tersebut nantinya akan membentuk berbagai pola yang mengemban tema. Sebagai contoh, tema novel 1984 karangan George Orwell adalah keadaan tanpa harapan dalam negara totaliter. Orwell menggunakan pola’pengkhianatan’ sebagai alat untuk mengungkapkan keadaan tanpa harapan itu. Kadangkala, sebagian orang merasa sulit untuk ‘memahami’ pengalamannya; mengerti dan tahu bahwa pengalamannya tersebut’dapat dinalar’.
Bila ia mencoba memahami fakta-fakta dari pengalaman tersebut, menjadikan fakta-fakta itu konsisten, dan menemukan keterkaitan diantaranya, ia akan menjadi ilmuan atau sejarahwan. Bila ia berusaha memahami arti dari suatu peengalaman, ia akan menjadi filsuf atau teolog. Untuk memahami pengalaman yang digambarkan oleh cerita, hendaknya dipahami terlebih dulu fakta-fakta dan tema yang menjadi elemen-elemennya. Yang kita lakukan adalah mengeksplorasi kedalaman dan resonansi yang sengaja dilekatkan pengarang pada kejadian dan karakter-karakter tertentu. Dengan kata lain, kita berusaha membaca keseluruhan cerita. Nilai yang dapat dipetik dari sebuah analisis didapatkan melalui pembacaan kembali. Pada pembacaan kedua, cerita bersangkutan cenderung berubah menjadi lebih nyata ketimbang saat pembacaan pertama.
FIKSI POPULER
Dapat diperingkas bahwa fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahami dan menikmatinya, terkadang harus dilaksanakan semacam analisis terhadap bagian-bagian tertentu dan relasi-relasinya satu sama lain.
Film barat adalah contoh yang baik karena akrab dimata setiap orang. Meskipun bukan dikategorikan sebagai fiksi karena lebih condong ke arah drama, film barat tetap contoh yang baik. ‘Fakta-fakta’ film barat yang meliputi latar, karakter, dan alur sudah terstandarisasi. Film barat tidak benar-benar ‘bercerita’. Sama halnya dengan fiksi serius, film barat mengungkapkan tema atau gagasan utama. Elemen-elemen yang ada pada fiksi populer seperti karakter-karakter, situasi-situasi, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan selalu terstereotipekan. Elemen-elemen inilah yang tidak ditemui dalam fiksi serius.
Fiksi berada pada tingkatan yang berbeda karena para pembaca berkeinginan lain, Fiksi dapat membuat pembaca menghabiskan waktu dengan bergembira, membayangkan tempat-tempat dan pertualangan-pertualangan aneh, membagi pengalaman emosional dengan tokoh, melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan berbagai persoalan etika dan moral, merunut dan mengamati tehnik-tehnik pengarang, dan memandang hidup melalui kacamata prinsip-prinsip dan filosofi-filosofi tertentu, fiksi menyediakan mimpi-mimpi artifisial sehingga hasratnya akan keamanan, kemewahan, seks, kekerasan, dan keyakinan batin dapat terpenuhi tanpa harus di barengi oleh kesulitan dan berbuntut rasa bersalah.
Di luar kesemuanya, fiksi adalah kehidupan, sedangkan kehidupan adalah permainan yang paling menarik. Membaca fiksi ibarat memainkan permainan yang tinggi tingkat kesulitannyadan bukannya seperti memainkan permainkan sepele tempat para pemainmenggampangkan atau bahkan mengabaikan peraturan yang ada. Agar mudah dibaca, fiksi populer terdiri atas beberapa karakter,situasi, dan tema saja. Fiksi jenis ini tidak akan mengulas keragaman yang ada dalam hidup. Meski kerap mendasarkan kisahnya pada kejadian yang nyata, fiksi populer tidak sekedar tiruan dari apa yang telah diciptakan oleh pengarang lain/akhirnya, untuk melestarikan stereotipe yang telah di tonjolkan pada bagian-bagian tertentu, fiksi populer akan mengorbankan keberadaan bagian-bagian lain.
UNIK DAN UNIVERSAL
Sebenarnya, dalam kehidupan nyata tidak terdapat stereotipe atau kasamaan identik. Setiap orang adalah individu bagi siapa pun yang mengenalnya. Setiap hubungan cinta selalu bersifat unik bagi para pelakunya. Pengarang fiksi serius mengambil kehidupan sebagai model. Dia lebih memilih berkisah tentang orang-orang tertentu dalam keadaan-keadaan tertentu ketimbang mengarang’kisah cinta’ atau’cerita perang yang tipikal’. Hasil akhirnya adalah paradoks karena cintarekaannya itu merupakan tipikal kehidupan.
Seorang pengarang menciptakan satu’tipe’ melalui seorang manusia. Ketika pertama kali memebaca sebuah cerita akan tampak bahwa terdapat karakter-karakter yang jauhdari lazim; seorang kapten apada pelayaran perdananya, atau seorang pemuda Dublin yang mengunjungi sebuah bazaar. Apa yang dilakukan si tokoh mungkin bergantung pada keberanian, kepengecutan, sinisme, atau kemudahannya. Bisa dikatakan bahwa dalam konteks ini, tokoh tersebut adalah satu tipe. Hanya saja, tokoh tersebut adalah tipe yang dapat dipahami karena telah merasakan pengalaman-pengalamannya. Dengan kata lain kita telah berbagi pengalaman dengannya. Pengarang, dalam hal ini, menunjukan satu pengalaman universal pada kita melalui sebuah kejadian unik.
BAGIAN II
Membaca Fiksi
Beberapa tema dan metode yang digunakan untuk membaca dan mendikusikan fiksi serius. Topik-topik tersebut akan dikelompokkan ke dalam tiga subjudul diantaranya fakta, tema, dan sarana-sarana sastra. Sebenarnya mereduksi sastra dan seni-seni lain ke dalam kategori-kategori sama saja dengan mendistorsi dan menggampangkan subjek-subjek yang ada padanya; sastra bersifat fleksibel, subtil, dan majemuk. Satu yang tidak dapat dilakukan adalah merekayasa cerita agar cocok dengan konsep-konsep tertentu. Tidak ada satu pun konsep atau prinsip kesastraan yang dapat menggantikan peran membaca (terutama penuh penghayatan). Patut diakui bahwa pembacaan yang sembrono kerap muncul karena bebarapa pengarang melahirkan karya yang sulit dicerna; dua contohnya adalah Henry James dan William Faulkner. Demikian adanya karena cerita-cerita yang diciptakan oleh dua pengarang di atas cenderung terkonsentrasi pada emosi dan pemikiran tokoh-tokoh didalamnya.
FAKTA-FAKTA CERITA
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang. Proses artistic dapat dicapai dengan berbagai modifikasi atau penyesuaian. Detail-detail pada lukisan menggambarkan objek-objek sekaligus membentuk berbagai pola seperti simetri, keseimbangan, harmoni warna, dan seterusnya.
Oleh karena detail-detail cerita mengandung fungsi yang ambivalen, sikap pembaca hendaknya juga embivalen. Untuk mengapresiasi struktur faktual cerita, hendaknya kita ‘mempercayai cerita’, membenam diri pada ilusi yang dibuatnya. Sebaliknya, untuk mengapresiasi pola-pola yang mengemban tema, pembaca haruslah menyampingkan ilusi-ilusi tersebut dan bertanya pada diri sendiri. Oleh karena persyaratan pertama yaitu sifat ‘masuk akal’ hadi melalui struktur faktual, seyogyanya kita mengamati terlebih dekat. Seorang pembaca yang telah terbiasa dengan fiksi populer berstereotipe sederhana akan merasakan kesulitan ketika membaca jenis fiksi yang lebih rumit.
Cerita yang masuk akal bukan selalu berarti tiruan kehidupan. Koherensi pengalaman adalah satu-satunya hal yang harus dikandungnya. Bila seorang pengarang bermaksud mengeksplorasi inkoherensi ini di dalam ceritanya, hendaknya membatasi sebab-akibat yang mengurai kejadian-kejadian didalamnya. ‘Masuk akal’ dan ‘tidak terhindarkan’ dipahami bukan sebagai alat untuk menilai sebuah cerita. Dua hal ini dimaksudkan agar kita sadar akan hukum sebab-akibat yang mempertautkannya.
ALUR
Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. ‘Subplot’ atau subplot (merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa yang enjadi bagian dari alur utama, nemun memliki cirri khas tersendiri. Satu subplot bias memiliki bentuk yang paralel dengan subplot lain. Tindakan ini merupakan upaya untuk menonjolkan signifikan; caranya adalah dengan teknik kontras atau similaritas. Salah satu bentuk subplot yang lazim dikenal ialah ‘narasi bingkai’. Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam analisis. Alur mengalir karena mampu merangsang berbagai pertanyaan di dalam benak pembaca.
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memoliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat orang karakter dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘konflik utama’ yang bersifat eksternal, internal atau dua-duanya. Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sanngat intens sehingga endingna tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekauatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan.
KARAKTER
Tema ‘karakter’ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu. Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap kita terhadap karakter tersebut. Pada kasus lain, bunyi yang diartikulasikan dari nama karakter tertentu juga dapat mengarahkan kita pada sifat karakter itu. Bukti lain yang tidak kalah penting adalah deskripsi eksplisit dan komentar pengarang tentang karakter bersangkutan.
LATAR
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristwa yang sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun) cuaca, atau periode sejarah. Dalam berbagai cerita dapat dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang melingkupi sang karakter.
TEMA
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Oleh karena tema merupakan pernyatan generalisasi, akan sangat tidak tepat diterapkan untuk cerita-cerita yang mengolah emosi karakter-karakternya. Kita akan menggunakan tiga istilah yaitu ‘tema’, ‘gagasan utama’, dan ‘maksud utama’secara fleksibel, tergantung pada konteks yang ada. Pengarang adalah pencerita, tetapi agar tidak menjadi sekadar anekdot, cerita rekaannya harus memiliki maksud. Maksud inilah yang dinamakan tema. Fungsi tema telah sepenuhnya diketahui, namun identitas tema sendiri masih kabur dari pandangan. Tema dapat diibaratkan ‘maksud’ dalam sebuah gurauan, setiap orang paham ‘maksud’ sebuah gurauan, tetapi tetap mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjelaskannya. ‘Maksud’ adalah hal yang membuat sebuah gurauan menjadi lucu, dalam konteks ini, ‘maksud’ merujuk pada fungsi dan bukan definisi. Jadi tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalan cerita dengan cara yang paling sederhana. Cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya.
Akhirnya, kita memerlukan sarana-sarana sastra seperti simbolisme, ironi, dan seterusnya. Beberapa diantara sarana-sarana sastra tersebut telah disinggung sebelumnya, topik ini akan diulas lebih mendetail pada bagian selanjutnya dari bab ini. Lebih mengerucut lagi, tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut.
1. Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita.
2. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi
3. Interpretasi yang baik hendanya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit).
4. Interpretasi yang dihasilkan hendaknya di ujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan.
SARANA-SARANA SASTRA
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Sebenarnya kita selalu berupaya memengaruhi reaksi pembaca atau lawan bicara ketika menulis atau berbicara. Tujuan ini kita relisasikan dengan bantuan sarana-saran retoris. Sarana-sarana sastra retoris dalam sastra dapat diupayakan agar menarik, tetapi sifat menarik tersebut justru akan membuat sastra jadi tidak ‘bernalar’ sehingga dijauhi oleh pembaca. Untuk memecahkan persoalan ini, seorang pengarang fiksi biasanya berpatokan pada dua tendensi dasar manusia. Pertama, kenali dahulu berbagai ‘pola’ yang ada seperti kontras, repetisi, similaritas, urutan klimaks, simetri, dan ritme. Ketika seorang seniman mengaplikasikan pola-pola seperti ini, karya-karynya akan menjadi berstruktur. Tidak hanya itu, struktur tersebut juga dapat diuraikan sehingga setiap elemen yang menyusun pola didalamnya dapat di renik hingga yang terkecil, dalam salah satu lukisannya. Tendensi kedua, pahami dan ingat-ingat setiap ‘asosiasi’ diantara benda-benda yang ditampilkan secara berbarengan, terutama ketika emosi kita turut terlibat didalamnya, seorang bocah akan merasa takut pada api karena tahu bahwa api memiliki sifat panas.
Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti konflik, klimaks, tone dan gaya dan sudut pandang. Sarana-sarana sastra lain seperti simbolisme sangat jarang dihadirkan. Sarana-sarana paling signifikan diantara berbagai sarana yang kita kenal adalah karakter utama, konflik utama dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan ‘kesatuan organis’ cerita. Ketiga-tiganya terhubung demikian erat, ketiga-tiganya menjadi fokus cerita itu sendiri.
JUDUL
Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Sebuah judul juga kerap memiliki beberapa tingkatan makna. Banyak judul fiksi yang mengandung alusi.
SUDUT PANDANG
Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama. Meski demikian perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Pada ‘orang pertama-utama’, sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Pada ‘orang pertama sampingan’ cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama atau sampingan. Pada orang ketiga terbatas tak terbatas; pengarang mengacu pada semua karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja. Pada ‘orang ketiga tidak terbatas tidak terbatas’, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memposisikannya pada orang ketiga. Terkadang sudut pandang digambarkan melalui dua cara yaitu subjektif dan objektif. Dikatakan subjektif ketika pengarang langsung menilai atau menafsirkan karakter. Sedangkan dikatakan objektif pengarang bahkan akan menghindari usaha menampakkan gagasan-gagasan dan emosi-emosi.
GAYA DAN TONE
Gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter dan latar yang sama hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa yang menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor, kekonkritan dan banyaknya imajinasi dan metafora. Campuran dari berbagai aspek diatas akan menghasilkan gaya. Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah ‘tone’. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bias nampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi atau penuh perasaan.
SIMBOLISME
Gagasan dan emosi terkadang tampak nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya kedua hal tersebut tidak dapat dilihat dan sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal tersebut agar tampak nyata adalah melalui ‘simbol’, simbol berwujud detail-detail konkrit dan faktual dan memilki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dalam fiksi simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Kedua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam cerita. Ketiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menentukan tema.
IRONI
Ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita. ‘Ironi dramatis’ atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya. Tone ironis atau ‘ironi verbal’ digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan.
BAGIAN III
CERPEN
Ketidaksamaan sifat pada novel dan cerpen melandasi perbedaan-perbedaan pendekatan bagi keduanya. Perbedaan paling jelas dari novel dan cerpen tampak dari panjang-pendeknya. Jenis yang terdapat di antara dua kategori tersebut dinamakan cerpen panjang, novella (novella atau novelette), dan novel pendek. Kadangkala kita mendengar opini yang mengatakan bahwa cerpen adalah novel yang diperluas atau novel tak lebih sekadar cerpen yang diperpanjang. Perbedaan mendasar antara cerpen dan novel telah berevolusi dan berkembang lebih dari sekedar perbedaan ukuran. Seiring dengan berlaunya kreativitas para pengarang demi mendobrak berbagai keterbatasan, banyak bermunculan pernak-pernik menarik yang menghiasi karya sastra.
Cerita pendek haruslah berbentuk “padat”. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel. Setiap bab dalam novel menjelaskan unsurnya satu demi satu. Dalam cerpen, pengarang menciptakan karakter-karakter, semesta mereka, dan tindakan-tindakannya sekaligus, secara bersamaan. Sebagai konsekuensinya, bagian-bagian awal dari sebuah cerpen harus lebih padat ketimbang novel. Sesungguhnya seorang pembaca cerpen tidak selalu harus sensitive terhadap kehadiran implikasi-implikasi tersebut. Apa yang ia perlukan adalah kemampuan untuk mengingat-ingat semua detail yang nantinya akan bermanfaat. Dengan demikian seorang pembaca hendaknya membaca cerita lebih dari sekali.
Bukti lain yang menunjukkan kepadatan cerpen adalah penhhunaan simbolisme. Seorang pembaca mampu memahami A Farewell to Arms tanpa harus tahu bahwa hujan menimbulkan kematian. Sebaliknya, seorang pembaca tidak akan pernah sepenuhnya mengerti The Snows on Kilimanjaro karya Hemingway tanpa mengetahui bahwa gunung (dibagian akhir si penulis yang sekarat membayangkan dirinya terbang) menyimbolkan hilangnya integritas. Umumnya, pembaca cerpen membutuhkan waktu singkat. Menurut ulasan Edgar Allan Poe (1842) atas karya Nathaniel Hawthorne yang berjudul Twice-Told Tales, keunggulan cerpen atas novel terletak pada fisiknya yang ringkas. Menurut Poe untuk memunculkan efek ini, pengarang hendaknya tidak berboros-boros kata. Poe mengutarakan bahwa ada dua efek yang cocok dimunculkan pada cerpen. Efek yang pertama adalah ‘hasrat’ atau yang diuraikannya sebagai ‘kengerian’ sedangkan efek kedua adalah ‘kebenaran’ atau ‘usaha untuk menjelaskan secara cerdas’ seperti yang ada pada cerita detektif.
Menurut teori Poe, cerita dalam cerpen dilingkupi oleh dua efek yaitu ‘kengerian’ dan ‘kecerdasan’. Sebenarnya banyak pengarang yang membangun cerpen dari tema-tema tersebut tetapi Poe seorang adalah contoh yang memadai. Situasi literal dalam fiksi karya Hawthorne sama mengambil tema dari kejadian nyata dan umum. Young Goodman Brown menggambarkan secara nyata sosok seorang Puritan yang menghadiri sebuah perkumpulan sesat di dalam hutan. Dari segi tematis cerpen ini bertema hilangnya pengaruh idealism bagi kebaikan manusia.
Perbedaan kedua, dialog-dialog yang ada di dalamnya relevan dengan kehidupan sehari-hari, latar yang terlukis sangat detail dan dapat dikenali, dan situasi-situasinya memungkinkan. Aslinya cerpen adalah cerita yang dimaksudkan untuk memesona pembaca. Dapat disaksikan bahwa tekanan Poe terhadap istilah ‘efek’ merupakan pembaruan atas konsep ini. Hawthorne menganggap cerita sebagai perenungan simbolis atas suatu pandangan ini bermaksud mengatakan bahwa tujuan cerpen yang sebenarnya berada di luar, di balik, atau melampaui aktualitas permukaannya. Sebagian besar pengarang modern beranggapan bahwa cerita adalah eksplorasi pengalaman tertentu. Ada unsur kepuasan atas ketepatan dan kepadatan realism yang hilang meski dalam kisah-kisah rekaan terbaik.
Ketika pembaca karya-karya Poe dan Hawthorne kita akan tahu bahwa dua pengarang ini mereka-reka kejadian dan menyusunnya dengan tujuan membangun tema atau efek emosional. Seorang pengarang realis wajib menampakkan makna melalui berbagai detail yang signifikan, perkembangan konflik yang memuncak, dan plot yang mengerucut tanpa harus ada yang merobohkan keserupaan cerita karangannya. Oleh karena mengeksplorasi realitas mengandung atmosfer realitas, dan tersusun atas berbagai gaya bahasa dan maknanya cerita menjadi dua kali lebih realistis.
Perbedaan ketiga hanya terjadi pada segelintir cerita modern. Pola eksternal yang mereka gunakan untuk membentuk cerita ini sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan cerita-cerita kebnayakan. Alur yang mengalir dalam cerita-cerita ini bersifat fragmentasi, tebelah, dan cenderung inkonklusif. Cerita-cerita Chekhov terbangun dari kejadian-kejadian bertipe tertentu. Yang terpenting disini adalah jenis kejadian. Kejadian yang dimaksud adalah kejadian yang muncul dalam cerita yang sudah jadi dan bukannya kejadian sebenarnya. Yang kita miliki hanya keyakinan, keyakinan bahwa pasti ada suatu cara untuk merunut kejadian-kejadian tersebut sehingga seluruhnya dapat dimengerti. Oleh karena terlampaui mirip dengan dunia nyata, detail-detail tersebut mewarisi berbagai kontradiksi dan ketidaksesuain yang kerap dialami di dunia yang sebenarnya.
Sebagai penulis merasa bahagia ketika mengetahui bahwa cerita yang dituliskan seolah-olah dapat berdiri sendiri tanpa campur tangan penulis, kebalikannya seorang pengarang cerita ‘terencana’ terkonsentrasi pada sau tujuan yaitu ‘mengomunikasikan’ makna kejadian-kejadian yang dituliskan. Ulasan pertama diawali dengan kewajiban seorang pengarang cerpen untuk mengeksplorasi kelebihan sekaligus mengatasi kekurangan ketika menulis cerpen (yang secara fisik pendek). Dari poin pertama ini kita tahu bahwa untuk kemudian, genre cerpen berkembang pesat dengan berbagai keunikan. Cerpen tersatukan melalui ‘tema’ dan ‘efek’. Cerpen bergaya pedat; salah satu perangkat kepadatan yang lazim digunakan didalamnya adalah simbolisme. Cerpen tersusun atas berbagai tingkatan; ia menggugah kepekaan realisme pembaca, pemahamannya, emosinya dan kepekaan moralnya secara simultan. Cerpen memiliki efek mikrokosmis karena mampu mengungkap satu makna yang demikian besar melalui sepotong kejadian saja.
Menurut Willian Faulkner, “Setiap noveles mungkin ingin menulis puisi terlebih dahulu. Oleh karena sulit ia beralih pada cerpen yang setingkat lebih lebih sulit ketimbang puisi. Setelah gagal, ia akan beralih ke novel karena merasakan lebih banyak kemudahan”. Satu hal yang pasti, setiap petualangan literer yang matang akan lebih menghargai ketrampilan dan keahlian artistic pengarang. Cerpen merupakan contoh sempurna dari genre karya sastra yang pantas diperlakukan sedemikian rupa.
BAGIAN IV
Novel
Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa yang ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. Novel lebih mudah sekaligus lebih sulit dibaca jika dibandingkan dengan cerpen. Dikatakan lebih mudah karena novel tidak dibebani tanggungjawab untuk menyampaikan sesuatu dengan cepat atau dengan bentuk padat dan dikatakan lebih sulit karena novel dituliskan dalam skala besar sehingga mengandung satuan-satuan organisasi yang lebih luas daripada cerpen.
Fisik novel yang panjang akan mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian kecil dari alur cerita. Hal ini akan menjadi penghalang ketika pembaca berusaha memahami struktur perluasan dari novel bersangkutan karena untuk merunut struktur perluasan tersebut, perlu melangkah mundur waktu demi waktu. Setiap bab dalam novel mengandung berbagai episode. Setiap episode terdiri atas berbagai macam topik yang berlainan. Episode-episode dan topik-topik tersebut dapat dileburkan dalam satu bab karena suatu alasan tertentu. Sekuen-sekuen bab tersebut akan membentuk grup-grup yang lebih besar lagi sampai pada akhirnya kita paham akan keseluruhan bagian dari novel yang bersangkutan. Setiap episode atau bab yang tidak beruntun belum tentu tidak berhubungan. Episode-episode dan bab-bab tersebut sangat mungkin memiliki keterkaitan satu sama lain. Setiap episode dalam novel hendaknya diulas secara individual maupun secara general.
Istilah ‘episode’ dalam fiksi hamper mirip dengan ‘adegan’ dalam drama. Pergeseran dari satu episode ke episode lain ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau karakter-karakter. Tipe-tipe episode yang umum dikenal adala ‘naratif’ atau ‘ringkasan’ dan ‘scenic’ atau ‘dramatis’. Episode naratif bercerita bahwa sesuatu telah terjadi. Adegan menunjukkan peristiwa yang sedang terjadi, sebagian besar melalui perantaraan dialog. Episode ‘analitis’ atau ‘meditatif’ menggambarkan si pengarang atau karakter rekaannya merenungkan karakter lain atau peristiwa yang telah berlalu. Untuk mencapai pemahaman, pembaca mesti peka terhadap berbagai efek, tempo, kontras, dan penjarakan yang disodorkan oleh pengarang melalui tiap-tiap episode.
Seorang pembaca harus sadar bagaimana setiap episode dalam novel saling berhubungan. Episode-episode dan juga bab-bab yang menampungnya saling berhubungan erat. Keadaan ini berlangsung konsisten meski masing-masing episode terkonsentrasi pada karakter-karakter atau peristiwa-peristiwa yang berlainan.
Agar novel lebih dapat dipahami, perlu dibuat semacam daftar yang menampung setiap peristiwa pada tiap-tiap bab. Kerangka tersebut akan membantu kita memahami kaitan satu episode dengan episode lain dan melacak perantaraannya. Sarana-sarana mekanis ini digunakan untuk menysun setiap peristiwa dalam novel secara kronologis. Pembaca dapat lebih mudah mengingat setiap peristiwa yang telah berlangsung pada bagian sebelumnya. Selain itu, pembaca juga akan lebih terbebas dari naratif linear dan lebih mampu memahami pola dan struktur dari novel bersangkutan.
Pada kasus-kasus tertentu, pembaca terpaksa mengidentifikasi pembagian-pembagian dalam novel. Pembagian-pembagian tersebut mungkin sudah dilakukan secara formal atau hanya ditandai oleh pergeseran satu kejadian ke kejadian lainnya.
Pembaca harus mengenali prinsip kebersatuan novel. ‘Kebersatuan’ novel serupa dengan ‘kebersatuan’ pada cerpen. Artinya, seluruh aspek dari karya harus berkontribusi penuh pada maksud utama atau tema. Hal pertama yang dapat dilakukan pembaca adalah membaca novelnya dengan hati-hati dan menelisik tiap-tiap episode, karakter, hubungan-hubungan, dan alur di dalamnya. Kemudian, pembaca harus merenungkan kembali apakah setiap aspek tersebut berkontribusi penuh pada keseluruhan novel. Terakhir, ia akan menemukan tema atau maksud utama yang merangkum aspek-aspek tersebut menjadi satu.
Ada satu lagi ‘kebersatuan’ pada novel yang membedakan dengan cerpen. Kebersatuan tersebut adalah kebersatuan ‘dunia’-nya. Dunia dalam novel sangat memadai bahkan bila digunakan untuk menampung berbagai jenis pengalaman. Dunia dalam novel terdiri atas dunia individu dan dunia novel. Dunia individu adalah dunia tempat individu bersangkutan peduli, segala sesuatu yang membuat ia merasakan pengalaman baru. Dunia novel adalah kombinasi berbagai elemen seperti nilai-nilai, hukum-hukum, kekuatan-kekuatan, kemungkinan-kemungkinan, dan masalah-masalah yang cukup besar untuk ditampung ke dalam satu wadah. Setiap karakter, peristiwa, dan adegan yang digambarkan dalam dunia tersebut harus dapat dimaknai.
Banyak orang mengira bahwa cara termudah untuk memahami dunia novel adalah dengan bertanya kepada pengarangnya. Kenyataannya, kebanyakan pengarang akan menolak ketika diminta menjelaskan karya mereka secara mendalam atau mungkin novel tersebut justru mejelaskan banyak hal, lebih dari perkiraan pengarang sendiri.
Ada beberapa hal seperti lingkungan, warisan karakter, kecerdasan, dan kecelakaan yang dapat berdampak pada nasib setiap karakter dalam setiap novel. Rangkaian peristiwa dalam novel melawan prinsip-prinsip utamnya sendiri sehingga tampak jujur. Koherensi novel terletak pada kemampuannya merangkai setiap peristiwa dalam ikatan prinsip-prinsip utama. Apabila seorang pembaca gagal merekonsiliasikan satu karakter atau peristiwa dengan prinsip-prinsip utama dalam novel maka dapat dikatakan bahwa sebelumnya ia telah gagal memahami prinsip-prinsip tersebut.
Serupa cerpen, ukuran panjang novel mendikte setiap ciri khas yang ada padanya. Novel tidak bergaya padat seperti cerpen karena novel memiliki ruang lebih untuk menggambarkan setiap situasi di dalamnya secara penuh dan karena novel menyulitkan pembaca untuk berkonsentrasi. Novel menyediakan ruang yang cukup besar bahkan bila digunakan untuk menampung berbagai pengalaman dan prinsip. Tiap-tiap episode novel berbeda satu sama lain, bergantung pada latar, tone, dan temanya masing-masing. Episode-episode dalam novel disatukan dalam satu wadah yang hanya dapat dilihat ketika pembaca ‘melangkah mundur’ secara teratur. Wadah tersebut bersifat kumulatif sehingga membuat novel mampu menciptakan efek berupa keagungan, keragaman, evolusi, dan tragedi.
Apabila sebuah topik dipandang terlalu rumit untuk sebuah cerpen atau terlalu mengerucut untuk sebuah novel maka bentuk diantara keduanya dapat menjadi pilihan. Karya semacam ini dinamakan cerpen panjang, novel pendek, atau novella. Novella terbaik mampu menggabungkan kepadatan cerpen dengan bangunan raksasa dan perkembangan novel.
Keunikan-keunikan dalam novel dapat kita temukan dalam novel karangan siapapun. Keunikan tersebut dapat berupa prinsip-prinsip etis, konflik-konflik, tipe-tipe latar, karakter-karakter, dan tindakan. Elemen-elemen tersebut merupakan dunia ‘pengarang’. Pengetahuan tentang dunia pengarang akan membantu kita memahami setiap karyanya. Setiap dunia tidak pernah benar-benar identik satu dengan yang lain. Para kritisi bertugas menjelaskan dunia tipikal seorang pengarang sekaligus menjelaskan keragaman aplikasinya pada karya-karya berbeda.
Perkenalan kita dengan pengarang-pengarang akan bernilai lebih sehingga sulit untuk dijelaskan. Pertama adalah hal yang sangat menyenangkan untuk dapat membaca karya-karya mereka. Ada lebih banyak pembaca yang tertarik untuk menikmati sebuah karya ketimbang menjadikannya alat untuk mendidik kepribadian. Seorang novelis dicap sebagai seorang pengarang klasik ketika ia berhasil menjadikan karya-karyanya dapat dinikmati oleh pembaca. Keuntungan lain, kita dapat dengan mudah mengenali dan menilai imitator-imitator mereka dan menangkap berbagai kutipan dalam karya-karya imitasinya. Dan keistimewaan yang terakhir, pengarang member jalan agar pembaca dapat memandang dunia yang sebenarnya.
Bagian V
Tipe-tipe Fiksi
Novel, cerpen, dan novella merupakan kategorisasi formal. Tipe-tipe yang berada di antaranya adalah kategori-kategori jenis lain. Kategori-kategori tersebut dapat ditentukan oleh teknik (alegori), tipe isi (fiksi ilmiah), tema (eksistensialisme), atau kombinasi semuanya.
Ciri khas novel detektif ada pada kecenderungan untuk mereduksi setiap kebiasaan manusia ke dalam rangkaian-rangkaian logis. Novel detektif berisi cukup petunjuk untuk membentuk sekuen peristiwa-peristiwa berikutnya dan upaya untuk mengidentifikasikannya. Karena mereduksi semua hal ke dalam logika-logika, cerita-cerita detektif cenderung mengabaikan emosi dan moralitas. Dalam novel detektif tidak ditemukan tokoh yang menyesal dan menderita, hal ini karena dua hal terseut dianggap merusak pandangan yang sudah ada. Dengan kata lain, pengarang atau pembaca menciptakan dan membaca berbagai cerita detektif, romantis, realis, naturalis, atau alegori karena kategori-kategori tersebut menyediakan cara untuk memandang hidup, menyediakan suatu cara pandang terhadap pengalaman.
Cara termudah untuk memulai adalah dengan membagi pengalaman ke dalam beberapa elemen pokok yang seluruhnya berjumlah empat. Bagian pertama berasal dari kedalaman individu sedangkan bagian lain bermula dari dunia eksternalnya. Individu terdiri atas emosi dan akal. Dunia eksternal dapat dibagi menjadi (1) fenomena fisis atau fakta yang dilihat, didengarkan, dan disentuh oleh individu dan (2) makna tidak terlihat dari fenomena terseut, kekuatan dan hukum yang melingkupi baik yang bersifat ilmiah, ekonomis, politis, moral, maupun spiritual.
Elemen-elemen tersebut tidak menonjol secara bersamaan dalam pengalaman seorang individu. Pembaca akan lebih sering tergugah oleh tegangan antara akal yang ia punya dengan fenomena-fenomena di hadapannya.
Fiksi realis ingin menunjukkan bahwa fakta actual, yaitu fakta yang diatur oleh hukum-hukum material dan bukan merupakan subjek dari keinginan kita, merupakan suatu elemen yang tidak dapat dihindari pada pengalaman manusia.
Fiksi romantis menggambarkan hidup sebagai pergulatan antara emosi individu dengan kekuatan alam, termasuk juga emosi orang lain. Oleh karena emosi dan kekuatan dunia hanya dapat menjangkau fakta-fakta kasar yang berwujud mimpi, kegilaan, atau pengalaman-pengalaman mistik. Fakta-fakta dalam fiksi romantis dapat melampaui hukum-hukum fisis atau jika tidak, pengarang dapat mengonstruksi sebuah dunia yang fakta-fakta tersebut sesuai dengan kekuatan-kekuatan yang ada.
Fiksi ilmiah dan utopis menunjukkan arah hukum-hukum material dengan menggambarkan hubungan-hubungan yang diciptakannya. Fiksi psikologis, arus kesadaran, otobiografis, dan bildungsroman bermaksud mengetengahkan kerumitan atau perkembangan yang terjadi pada kehidupan batin seorang individu yaitu gabungan antara emosi dan akalnya. Episodis dan pikaresk merupakan tipe alur di mana individu dibenturkan dengan serangkaian fakta dan situasi. Fiksi eksistensialis beranggapan bahwa setiap kekuatan yang ada di balik fakta-fakta duniawi sama sekali tidak dapat dimengerti, tidak terjangkau, atau bahkan tidak hadir.
ROMANTISME DAN REALISME
Romantisme dan Realisme, dua kata ini masih memiliki arti yang ambigu, sebab dua kata ini dapat merujuk pada dua hal yang sama sekali berbeda, yaitu teknik penulisan suatu karya dan pandangan filosofis. Fiksi romantis kerap mengambil latar masa yang sudah lewat, tempat yang tidak biasa atau di luar jangkuan, atau wilayah rekaan yang lokasi sebenarnya tidak jelas. Berbeda dengan romantis, realisme lebih percaya bahwa setiap orang akan mendapat kebahagiaan ketika mengambil pilihan-pilihan yang disediakan oleh dunia. Fiksi realisis menekankan kemiripan dengan dunia yaitu kemiripan yang menyangkut pada kebenaran faktual.
Dengan demikian, seorang pengarang romantis bebas untuk mendistorsi dan mewarnai realitas, bebas untuk memilih dan menyusun apa saja, bebas menyodorkan berbagai kejadian, dan bebas untuk membuat potret emosional. Namun, dunia yang diciptakan oleh seorang pengarang romantis harus tampak nyata sehingga diyakini pembaca.
FIKSI GOTIK
Satu dari sekian banyak genre yang mampu mengakomodasi teknik dan filosofi romantis sekaligus adalah Gotik. Di zaman sekarang, fiksi Gotik sering disebut ‘cerita horor’. Sarana-sarana yang paling sering dieksploitasi dalam fiksi Gotik adalah makam, hantu, mayat, rumah berhantu, suara-suara aneh, pintu rahasia, dan adegan tengah malam.
NATURALISME
Salah satu bentuk realisme yang masyur pada akhir abad ke-19 adalah naturalisme. Para pengarang naturalis percaya bahwa akurasi sains dapat diterapkan pada fiksi. Salah satu prinsip dasar naturalisme adalah objektivitas. Seorang pengarang adalah seorang pengarang objektif, seseorang yang tidak akan membiarkan moralitas mendiktenya. Kriteria kedua adalah deterministik, yaitu pelaku atau subjek atau individu yang ditempatkan dalam kondisi eksperimental tidak memiliki kehendak bebas. Naturalisme percaya bahwa perilaku manusia digerakkan oleh kekuatan psikologis, fisiologis, ekonomis, dan sosial, sehingga tidak ada satu individu pun yang memegang kendali atas hidupnya.
FIKSI PROLETARIAN
Kekecewaan pada lingkungan yang terealisasi dalam bentuk tema eksplisit akan menelurkan ‘fiksi proletarian’ atau ‘novel protes sosial’. Fiksi proletar berusaha memotret ketidakadilan secara lebih spesifik. Fiksi proletarian tidak mewarisi karakter deterministis dan pesimistik milik naturalisme.
NOVEL DEDAKTIS
Novel pekerti masuk dalam kategori realis. Ditilik dari posisinya, novel ini berada berseberangan dengan naturalisme. Oleh karena naturalisme bersifat deterministik, segala perkataan, pemikiran, dan moralitas setiap karakter dalam novel dikendalikan oleh kekuatan dari luar sehingga tidak lagi berperan penting. Karakter-karakter dalam novel ini dikendalikan demi memenuhi tujuan-tujuan tertentu, namun mampu dan dapat bertindak apa saja dalam hidup. Novel dedaktis percaya bahwa perilaku sosial atau ‘pekerti’ dapat diandalkan, penting, dan menjadi sandaran bagi setiap karakternya.
ALEGORI DAN SIMBOLISME
Alegori berbeda sifat dengan realisme karena acap mengetengahkan peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin terjadi. Alegori juga berlainan sifat dengan romantisme karena lebih mengedepankan akal ketimbang emosi. Alegori adalah pernyataan implisit tentang politik, agama, moralitas, atau topik-topik lain yang didramatisasi sedemikian rupa.
Dalam alegori selalu terdapat hubungan ‘satu lawan satu’ antara tokoh-tokoh tertentu dengan maknanya atau dengan kata lain, setiap tokoh dalam alegori mengacu pada maknanya sendiri-sendiri. Dalam simbolisme, setiap tokoh simbolis selalu bermakna ambigu dan kompleks, maknanya tidak dapat dipastikan ‘satu lawan satu’ seperti dalam alegori.
Tokoh-tokoh simbolisme tampak lebih hidup dibanding tokoh-tokoh alegoris. Sebab alegori mengangkut makna langsung melalui nama, ciri fisik, penampilan, dan hubungan fisik. Pemahaman akan realitas tokoh-tokoh novel simbolis biasanya dihadirkan oleh unsure-unsur internal.
SATIR
Satir adalah karikatur versi sastra karena cenderung melebih-lebihkan, cerdas, sekaligus ironis. Satir mengekspos absurditas manusia atau intuisi, membongkar kesenjangan antara topeng dan wajah yang sebenarnya. Satir juga bermaksud serius sehingga sering disebut vitrolist, pahit, atau sardonis. Sebenarnya banyak novel nonsatiris yang berisikan tokoh-tokoh dan episode-episode satiris. Serangan terbanyak mereka tujukan pada kemunafikan, agama, dan sastra romantis.
FIKSI ILIMIAH DAN UTOPIS
Fiksi ilmiah mencoba menjelajahi segala kemungkinan dalam prinsip-prinsip ilmiah dan kemudian merepresentasikannya dalam bentuk fiksi. Alur dalam fiksi ilmiah berpegang pada logika yang tumbuh dari prinsip-prinsip ilmiah; semua masalah muncul dan diselesaikan secara logis. Dalam sastra serius, fiksi ilmiah kerap dipakai untuk mengomentari dunia kontemporer.
Bentuk lain yang memiliki keterkaitan dengan fiksi ilmiah adalah ‘fiksi Utopis’. Novel utopis menggambarkan sebuah masyarakat yang menjadi proyeksi idealism politis dan ekonomis sang pengarang di dunia nyata. Istilah utopis juga digunakan untuk menyebut novel-novel yang menyerang prinsip-prinsip kontemporer dan berusaha menggantikannya dengan prinsip-prinsip berformat futuristik.
EKSPRESIONISME
Dalam sastra, ekspresionisme dianggap sebagai teknik untuk mengomentari masyarakat atau mengeksplorasi jiwa. Sehingga situasi yang digambarkan oleh ekspresionisme menjadi terbalik. Pemikiran atau perasaan setiap tokoh atau makna dari seiap situasi ditampilkan seolah-olah mimpi dan berwujud symbol-simbol menyeramkan sehingga sedikit sekali kadar kemiripannya dengan dunia nyata.
FIKSI PSIKOLOGIS: ARUS KESADARAN
Fiksi psikologis adalah salah satu aliran sastra yang berusaha mengeksplorasi pikiran sang tokoh utama, terutama pada bagiannya yang terdaam yaitu alam bawah sadar. Fiksi psikologis sering menggunakan teknik bersama ‘arus kesadaran’. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kepingan-kepingan impresi, gagasan, kenangan, dan sensasi yang membentuk kesadaran manusia.
FIKSI OTOBIOGRAFIS (BILDUNGSROMAN)
Fiksi otobiografis berbeda dengan otobiografi karena sifatnya yang fiktif (sebagai fiksi, fiksi otobiografis memiliki alur, konflik utama, dan sebagainya). Pengarang novel otobiografis bebas memanipulasi fakta sehingga dapat menekan tema yang dipandang utama dalam proses kedewasaannya.
Agak berbeda dengan novel otobiografis adalah bildungsroman atau novel perkembangan. Bildungsroman tidak perlu mengambil modelnya dari dunia nyata. Sesuatu yang diperlukan bildungsroman adalah satu tokoh utama yang dapat dieksplorasi. Topik yang menjadi bahasan novel terpusat pada persoalan kedewasaan intelektual, moral, spiritual, maupun artistik.
FIKSI EPISODIS DAN PIKARESK
Episodis dan pikaresk merupakan terminology striktural yang hanya diperuntukkan bagi novel. Aur dalam novel episodis disusun dalam episode yang berbeda. Setiap episode novel melengkapi dirinya sendiri, terangkai oleh satu atau beberapa tokoh. Ada dua problem utama yang menghadang pembaca ketika menikmati novel yaitu merumuskan sifat yang dimiliki oleh sang karakter utama dan memahami topik yang mengemuka di tiap-tiap episodenya. Satu subkelas yang tidak dapat dilupakan dari novel episodis adalah ‘novel pikaresk’. Novel pikaresk biasa disandangkan pada novel episodis dengan hero berkarakter cerdik dan berasal dari kelas sosial rendah.
FIKSI EKSISTENSIALIS
Fiksi eksistensialis dipandang sebagai fiksi pengusung persoalan-persoalan yang menjadi bahasan filsafat eksistensialisme. Gagasan utama dalam filsafat tersampaikan lewat ungkapan “Eksistensi mendahului esesi”. Artinya, manusia dihadapkan pada fakta fisis yang buram dan mengada dalam ruang dan waktu secara bersamaan (ekstensi). Manusia tidak memiliki cara untuk memahami makna, maksud, dan sifat-sifat hakiki dari apa yang dhadapinya. Masalahnya, manusia memerlukan makna dan tidak dapat hidup tanpanya.
Fiksi eksistensialis memperluas topic bahasannya pada keterisolasian, ketidakjelasan identitas, dan kegagalan individu dalam membangun hubungan interpersonal yang memuaskan dan keburaman dan absurditas dunianya.
BAGIAN VI
Menulis Makalah Kritik Sastra
Bila ingin menulis tentang beberapa karya maka diperlukan konsultasi dengan dosen penanggungjawab. Oleh karena bentuk makalah maka topik bahasan bahasan yang dipilih harus dikerucutkan. Tidak tepat kiranya membahas terlalu banyak karya dalam media yang terlampau terbatas karena hasilnya akan dangkal.
Bentuk tugas semacam ini biasanya akan mengesampingkan tiga hal, yaitu aspresiasi, ulasan, dan makalah kepustakaan. Apresiasi merupakan sejenis tulisan yang mengharuskan penulis menjelaskan efek karya sastra terhadap penulis atau dengan kata lain, ‘impresi’ penulis terhadap karya tersebut. Dalam penulisan makalah kritik sastra, pembaca tulisan penulis dianggap sudah pernah membaca karya yang sedang penulis bahas. Pembaca tidak harus memenuhi sepenuhnya karya yang dibicarakan. Ulasan lebih merupakan deskripsi sifat-sifat utama sebuah karya sastra disertai sedikit penjelasan singkat. Makalah kepustakaan adalah ‘ringkasan’ berbagai kritik sastra dari satu karya tertentu yang kemudian disusun dalam satu makalah.
Kritik terdiri atas dua jenis yaitu analisis dan evaluasi. Meski kerap ditemukan dalam satu makalah, keduanya memiliki perbedaan prinsip. Tujuan sebuah analisis adalah untuk meningkatkan pengetahuan pembaca terhadap suatu karya. Tujuan ini dicapai dengan mengisolasi beberapa elemen tertentu dan kemudian menjelaskan sifat-sifatnya, hubungan-hubungannya, dan kontribusinya pada efek karya tersebut.
Cara menentukan topik untuk makalah analitis yang pertama dan utama adalah semua topik hendaknya diberi batasan yang jelas. Sebagai contoh, sebuah makalah mungkin menerapkan pola ‘ringakasan’ cerita agar pembaca selalu ingat akan pola karya tersebut, deskripsi ‘singkat’ terkait karakter-karakter utama dalam karya tersebut, pernyataan terkait tema atau maksud utama dari karya tersebut, dan analisis terhadap satu atau teknik yang dipakai dalam karya tersebut dan efek yang diberikannya terkait tema dan maksud seperti yang telah disebutkan pada poin 3.
Salah satu kiat menentukan topik adalah dengan menyusun satu catatan kecil. Akan sangat mudah memilih satu dari sekian banyak topik yang ada. Dengan demikian, catatan yang dibuat hendaknya merangkum berbagai detail dengan cara yang sederhana, catatan tersebut hendaknya mengungkapkan kesatuan dalam keragaman.
Salah satu cara paling efektif untuk menemukan sebuah topik adalah mengulas setiap elemen dalam sebuah karya secara berulang-ulang.
Fungsi lain yang diharapkan dari sebuah kritik adalah fungsi evaluatif. Evaluasi berarti menilai kadar kebaikan sebuah karya (sebuah makalah evaluatif yang pendek akan dibatasi pembahasannya, satu kelebihan atau satu kekurangan saja). Sikap subjektif dalam mengevaluasi harus berusaha dihilangkan.
Seorang pembaca pemula mencerca sebuah karya fiksi dengan menyebutnya terlalu sulit, terlalu membosankan, atau terlalu amoral. Criteria seperti sulit, membosankan, dan amoral bias jadi kriteria-kriteria yang valid, tetapi lebih sering bukan. Jika seorang pembaca mengeluhkan sulitnya memahami sebuah karya, bias dikatakan pembaca tersebut bermasalah saat membaca karya bersangkutan.
Sebutan ‘membosankan’ biasanya dilontarkan karena sebuah cerita dianggap ‘tidak menceritakan apapun’. Masalahnya, sesuatu yang baik pun terkadang juga tidak dapat diketahui keberadaannya karena memang tidak tampak secara fisik. Memang, ada beberapa cerita memang benar-benar sulit dan membosankan. Hanya saja, memang dibutuhkan pemahaman yang mendalam untuk menilai sulit-tidaknya sebuah karya.
Banyak pembaca yang menilai karya sastra dengan standar moral (dengan standar moral yang lebih sederhana dibanding standar moral dalam hidup). Biasanya, sebutan amoral dituduhkan karena cerita bersangkutan dapat berdampak buruk pada pribadi-pribadi yang abnormal atau belum dewasa.
Apa yang dibicarakan di sini berakhir pada penilaian (moral, estetis, atau politis) yang timbul lewat fiksi. Metode pertama, penilaian dapat dilakukan dengan dasar hukum-hukum kategorial. Objek-objek tertentu yang sedang dinilai ditentukan atribut baik atau buruknya secara absolut. Metode kedua, kita dapat menempatkan situasi total dalam satu lingkup bahasan dengan membahasnya satu per satu.
Perbedaan antara fiksi baik dengan fiksi buruk terletak pada kebersatuannya. Fiksi yang baik selalu mengandung satu maksud utama. Maksud utama inilah yang diselenggarakan bersama-sama oleh semua elemen dalam fiksi bersangkutan.
Fiksi serius yang baik selalu mengharuskan kita menilai setiap tokoh dan kejadian di dalamnya berdasarkan situasi total yang ada dan bukan berdasarkan hukum-hukum kategorial atau pra-anggapan yang telah terbentuk sebelumnya.
Kriteria-kriteria lain yang dapat dijadikan pegangan adalah ‘kejujuran’ yang mengacu pada upaya pengarang untuk mencantumkan fakta-fakta yang sekilas tampak berbenturan dengan tema utama dalam novelnya. Jawaban dari kejujuran yaitu koherensi. Koherensi merupakan kemampuan untuk meresolusi kontradiksi-kontradiksi yang sebelumnya muncul. Kriteria lain yang amat sering disodorkan adalah ‘kebersatuan organis’. Setiap elemen wajib mendukung maksud utama yang ingin dikedepankan pengarang dalam sebuah karya.
‘Orisinalitas’ adalah criteria yang penting namun kerap disalahartikan, kriteria ini tidak selalu berarti kebaruan. ‘Orisinalitas’ mengharuskan setiap pengarang berkaca pada perasaan, pengalaman, dan persepsinya sendiri selain memiliki kekayaan tokoh dan keragaman rangkaian alur.
Kriteria lainnya adalah ‘konsistensi’. Menurut Aristoteles, seorang tokoh dapat diangga inkonsisten ketika inkonsistensinya bersifat konsisten. Yang dikatakan konsisten dalam sebuah karya fiksi adalah semua yang masuk akal dalam konteks karya bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan inkonsisten adalah apa saja yang dianggap senjang, tidak masuk akal, atau kontradiktif.
Sebuah karya mungkin masuk dalam kriteria jujur, koheren, menyatu, orisinil, dan konsisten. Akan tetapi, karya yang demikian ini belum tentu bias disebut ‘hidup’. Setiap karya yang tidak hidup layak diberi cap ‘artifisial’ atau ‘tiruan’.
Problem pertama dalam menulis sebuah makalah evaluatif adalah memilih topik. Problem berikutnya, bagaimana cara mengumpulkan dan mempelajari bukti-bukti. Kesalahan yang sering terjadi adalah lupa mencantumkan fase ini sehingga topik yang sebelumnya dipilih menjadi tidak berkembang.
Sebuah kritik selalu bergantung pada penemuan topik yang mengemuka dan layak untuk ditindaklanjuti, pemeriksaan setiap baris novel yang relevan dengan topik tersebut secara berulang-ulang, dan kewaspadaan terhadap berbagai pola atau petunjuk yang merangkum semua bukti.
Makalah yang dibuat akan terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama memuat berbagai pernyataan eksplisit tentang topik yang dipilih termasuk diantaranya batasan penelitian yang dibuat. Bagian kedua adalah bagian argumen. Bagian ini memuat dan menguraikan beberapa kutipan dan bukti yang dapat memperluas topik bahasan. Bagian ketiga adalah kesimpulan. Kesimpulan merupakan ringkasan yang merangkum sekaligus menjelaskan setiap hal yang telah dikuak.
Ada beberapa kesalahan mendasar yang kerap dilakukan ketika menulis makalah kritik sastra. Pertama, beberapa makalah sama sekali tidak mengandung topik yang pasti atau malah mencampuradukkan dua sampai tiga topik sekaligus. Membatasi topik dapat membatasi pembicaraan sehingga penulis tahu saatnya harus berhenti menulis.
0 komentar:
Posting Komentar