Kamis, 04 April 2013

Posted by almuqontirin
No comments | 09.01

BAGIAN I

FIKSI: SELAYANG PANDANG

Mahasiswa memerlukan seseorang dosen atau buku pegangan untuk mengenalkan fiksi serius kepadanya? Alasan termudah dan mungkin yang terbaik buku pegangan memaparkan fiksi serius kepada mahasiswa. Untuk menikmati atau memahami karya yang bagus seseorang perlu membacanya terlebih dahulu. Alasan kedua, buku pegangan atau dosen dapat memberikan petunjuk pada pembaca mengenai maksud dan tehnik yang digunakan pengarang. Secara teoritis, sebagaimana yang dilakukan banyak orang pengarang dapat menemukan banyak orang, pembaca dapat menemukan sendiri. Alasan ketiga, dosen ataupun buku pegangan mampu meluruskan segala miskonsepsi gagasan-gagasan yang keliru mengenai apa dan bagaimana fiksi serius itu-yang mengintervensi pemahaman dan kenikmatan yang di peroleh pembaca.

Alasan ketiga, sebagian orang memiliki gagasan tersendiri mengenai fiksi serius itu. Jika termakontrastif ‘serius’ dan ‘populer’ ditelan bulat-bulat,dapat di simpulkan bila fiksi serius tidak dinikmati secara luas. Bahwa fiksi serius dan fiksi populer sama sekali berbeda persamaan keduanya hanya dari unsur, alur, karakter, dan latar. Pendapat lain menyatakan bahwa fiksi populer mudah di baca karena benar-benar ‘mengisahkan sesuatu’ sedangkan fiksi serius lebih sukar karean mengandung dua elemen tambahan; tema atau gagasan utama yang harus digali pembaca dan sarana sarana artistik yang harus di ketahui dan dihargai olehnya. Gagasan ketiga, fiksi populer selalu mudah dinikmati, tetapi fiksi serius dianggap lebih ‘baik’ daripadanya karena mengandung ajaran-ajaran yang berguna.

FIKSI SERIUS DAN PEMBACA

Pembaca memuji fiksi serius karena telah di ajarkan untuk berbuat demikian dan bukan karena mereka lebih menyukainya ketimbang fiksi populer. Secara implisit maupun eksplisit mereka menyebut bahwa fiksi serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna untuk kita dan bukannya memberi kenikmatan. Faktanya, fiksi serius dapat memberikan kenikmatan dan memang begitu adanya. Mereka membaca fiksi serius bukan karena suatu keharusan, melainkan karena mereka menikmatinya apa adanya. Sebagian besar fiksi serius memerlukan pembacaan dan pembacaan kembali; keduanya dilakukan dengan cermat dan tepat.

Maksud utama sebuah karya fiksi serius adalah memungkinkan pembaca membayangkan sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Pengalaman terdiri atas dua lapisan yang melekat satu sama lain. Satu bagian tersebut itu adalah fakta, sedangkan bagian lainnya adalah makna. Bagian makna merupakan bagian yang berbeda bagi tiap-tiap orang karena bergantung pada emosi, standar, dan pemahaman masing-masing atas fakta bersangkutan. Bagian lain yaitu bagian yang paling berpengaruh adalah makna dari fakta-fakta tersebut seperti persoalan yang anda berdua sedang perbicangkan, emosi yang anda rasakan, tegangan dan pengertian anda berdua, dan relevansi perbicangkan tersebut dengan pola hidup anda. Gambaran yang paling menyeluruh dari pengalaman haruslah mencakup keduanya yaitu fakta dan makna.

TEMA

Pengalaman-pengalaman yang paling kita ingat biasanya memiliki makna penting. Bahwa sebuah makna bernilai besar lebih dari kelihatannya; oleh karena langsung berhadapan langsung dengan penderitaan kita sendiri, kita dapat merasakan penderitaan orang lain. Dalam sebuah cerita, makna penting semacam ini dinamakan ‘tema’ atau ‘gagasan utama’. Tema memberi kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang diceritakan sekaligus memisahkan kehidupan dalam konteksnya paling umum.

Tema cerita sangat jarang berwujud pesan-pesan moral atau nasehat-nasehat misalnya,“kejujuran adalah yang terbaik” atau “bekerjalah dengan giat dan kau akan sukses nantinya”. Hanya sedikit pengarang yang berupaya mendidik segi moral pembaca. Pengarang memanfaatkan tema sejauh tema memberi makna dalam pengalaman. Tema bisa berwujud satu fakta dari pengalaman kemanusiaan yang di gambarkan atau diekplorasi oleh cerita seperti keberanian, ilusi, dan masa tua. Bahkan, tema juga dapat berupa gambaran kepribadian salah satu tokoh. Satu-satunya generalisasi yang paling memungkinkan darinyaadalah bahwa tema membentuk kebersatuan pada cerita dan memberi makna pada setiap peristiwa. Salah satu contoh adalah foto-foto yang ditempelkan pada buku kenangan.

Sebagian yang anda lihat adalah wujud foto-foto itu sendiri, sedangkan lain adalah makna dari foto tersebut yang masih melekat dalam ingatan. Bila seorang pengarang berkisah, dia tidak akan menjelaskan tema yang ia maksud di dalam paragraf-paragraf lain seorang pengarang akan meleburkan fakta dan tema dalam satu pengalaman. Tema akan muncul dari fakta-fakta dan memunculkan adalah pekerjaan kita.

SARANA-SARANA SASTRA

Pengarang meleburkan fakta dan tema dengan bantuan ‘sarana-sarana sastra’ seperti konflik, sudut pandang, simbolisme, ironi, dan sebagainya. Secara singkat, sarana sastra dapat dipandang sebagai semacam metode untuk memilih dan menyusun detail-detail tersebut nantinya akan membentuk berbagai pola yang mengemban tema. Sebagai contoh, tema novel 1984 karangan George Orwell adalah keadaan tanpa harapan dalam negara totaliter. Orwell menggunakan pola’pengkhianatan’ sebagai alat untuk mengungkapkan keadaan tanpa harapan itu. Kadangkala, sebagian orang merasa sulit untuk ‘memahami’ pengalamannya; mengerti dan tahu bahwa pengalamannya tersebut’dapat dinalar’.

Bila ia mencoba memahami fakta-fakta dari pengalaman tersebut, menjadikan fakta-fakta itu konsisten, dan menemukan keterkaitan diantaranya, ia akan menjadi ilmuan atau sejarahwan. Bila ia berusaha memahami arti dari suatu peengalaman, ia akan menjadi filsuf atau teolog. Untuk memahami pengalaman yang digambarkan oleh cerita, hendaknya dipahami terlebih dulu fakta-fakta dan tema yang menjadi elemen-elemennya. Yang kita lakukan adalah mengeksplorasi kedalaman dan resonansi yang sengaja dilekatkan pengarang pada kejadian dan karakter-karakter tertentu. Dengan kata lain, kita berusaha membaca keseluruhan cerita. Nilai yang dapat dipetik dari sebuah analisis didapatkan melalui pembacaan kembali. Pada pembacaan kedua, cerita bersangkutan cenderung berubah menjadi lebih nyata ketimbang saat pembacaan pertama.

FIKSI POPULER

Dapat diperingkas bahwa fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahami dan menikmatinya, terkadang harus dilaksanakan semacam analisis terhadap bagian-bagian tertentu dan relasi-relasinya satu sama lain.

Film barat adalah contoh yang baik karena akrab dimata setiap orang. Meskipun bukan dikategorikan sebagai fiksi karena lebih condong ke arah drama, film barat tetap contoh yang baik. ‘Fakta-fakta’ film barat yang meliputi latar, karakter, dan alur sudah terstandarisasi. Film barat tidak benar-benar ‘bercerita’. Sama halnya dengan fiksi serius, film barat mengungkapkan tema atau gagasan utama. Elemen-elemen yang ada pada fiksi populer seperti karakter-karakter, situasi-situasi, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan selalu terstereotipekan. Elemen-elemen inilah yang tidak ditemui dalam fiksi serius.

Fiksi berada pada tingkatan yang berbeda karena para pembaca berkeinginan lain, Fiksi dapat membuat pembaca menghabiskan waktu dengan bergembira, membayangkan tempat-tempat dan pertualangan-pertualangan aneh, membagi pengalaman emosional dengan tokoh, melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan berbagai persoalan etika dan moral, merunut dan mengamati tehnik-tehnik pengarang, dan memandang hidup melalui kacamata prinsip-prinsip dan filosofi-filosofi tertentu, fiksi menyediakan mimpi-mimpi artifisial sehingga hasratnya akan keamanan, kemewahan, seks, kekerasan, dan keyakinan batin dapat terpenuhi tanpa harus di barengi oleh kesulitan dan berbuntut rasa bersalah.

Di luar kesemuanya, fiksi adalah kehidupan, sedangkan kehidupan adalah permainan yang paling menarik. Membaca fiksi ibarat memainkan permainan yang tinggi tingkat kesulitannyadan bukannya seperti memainkan permainkan sepele tempat para pemainmenggampangkan atau bahkan mengabaikan peraturan yang ada. Agar mudah dibaca, fiksi populer terdiri atas beberapa karakter,situasi, dan tema saja. Fiksi jenis ini tidak akan mengulas keragaman yang ada dalam hidup. Meski kerap mendasarkan kisahnya pada kejadian yang nyata, fiksi populer tidak sekedar tiruan dari apa yang telah diciptakan oleh pengarang lain/akhirnya, untuk melestarikan stereotipe yang telah di tonjolkan pada bagian-bagian tertentu, fiksi populer akan mengorbankan keberadaan bagian-bagian lain.

UNIK DAN UNIVERSAL

Sebenarnya, dalam kehidupan nyata tidak terdapat stereotipe atau kasamaan identik. Setiap orang adalah individu bagi siapa pun yang mengenalnya. Setiap hubungan cinta selalu bersifat unik bagi para pelakunya. Pengarang fiksi serius mengambil kehidupan sebagai model. Dia lebih memilih berkisah tentang orang-orang tertentu dalam keadaan-keadaan tertentu ketimbang mengarang’kisah cinta’ atau’cerita perang yang tipikal’. Hasil akhirnya adalah paradoks karena cintarekaannya itu merupakan tipikal kehidupan.

Seorang pengarang menciptakan satu’tipe’ melalui seorang manusia. Ketika pertama kali memebaca sebuah cerita akan tampak bahwa terdapat karakter-karakter yang jauhdari lazim; seorang kapten apada pelayaran perdananya, atau seorang pemuda Dublin yang mengunjungi sebuah bazaar. Apa yang dilakukan si tokoh mungkin bergantung pada keberanian, kepengecutan, sinisme, atau kemudahannya. Bisa dikatakan bahwa dalam konteks ini, tokoh tersebut adalah satu tipe. Hanya saja, tokoh tersebut adalah tipe yang dapat dipahami karena telah merasakan pengalaman-pengalamannya. Dengan kata lain kita telah berbagi pengalaman dengannya. Pengarang, dalam hal ini, menunjukan satu pengalaman universal pada kita melalui sebuah kejadian unik.

BAGIAN II

Membaca Fiksi

Beberapa tema dan metode yang digunakan untuk membaca dan mendikusikan fiksi serius. Topik-topik tersebut akan dikelompokkan ke dalam tiga subjudul diantaranya fakta, tema, dan sarana-sarana sastra. Sebenarnya mereduksi sastra dan seni-seni lain ke dalam kategori-kategori sama saja dengan mendistorsi dan menggampangkan subjek-subjek yang ada padanya; sastra bersifat fleksibel, subtil, dan majemuk. Satu yang tidak dapat dilakukan adalah merekayasa cerita agar cocok dengan konsep-konsep tertentu. Tidak ada satu pun konsep atau prinsip kesastraan yang dapat menggantikan peran membaca (terutama penuh penghayatan). Patut diakui bahwa pembacaan yang sembrono kerap muncul karena bebarapa pengarang melahirkan karya yang sulit dicerna; dua contohnya adalah Henry James dan William Faulkner. Demikian adanya karena cerita-cerita yang diciptakan oleh dua pengarang di atas cenderung terkonsentrasi pada emosi dan pemikiran tokoh-tokoh didalamnya.

FAKTA-FAKTA CERITA

Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang. Proses artistic dapat dicapai dengan berbagai modifikasi atau penyesuaian. Detail-detail pada lukisan menggambarkan objek-objek sekaligus membentuk berbagai pola seperti simetri, keseimbangan, harmoni warna, dan seterusnya.

Oleh karena detail-detail cerita mengandung fungsi yang ambivalen, sikap pembaca hendaknya juga embivalen. Untuk mengapresiasi struktur faktual cerita, hendaknya kita ‘mempercayai cerita’, membenam diri pada ilusi yang dibuatnya. Sebaliknya, untuk mengapresiasi pola-pola yang mengemban tema, pembaca haruslah menyampingkan ilusi-ilusi tersebut dan bertanya pada diri sendiri. Oleh karena persyaratan pertama yaitu sifat ‘masuk akal’ hadi melalui struktur faktual, seyogyanya kita mengamati terlebih dekat. Seorang pembaca yang telah terbiasa dengan fiksi populer berstereotipe sederhana akan merasakan kesulitan ketika membaca jenis fiksi yang lebih rumit.

Cerita yang masuk akal bukan selalu berarti tiruan kehidupan. Koherensi pengalaman adalah satu-satunya hal yang harus dikandungnya. Bila seorang pengarang bermaksud mengeksplorasi inkoherensi ini di dalam ceritanya, hendaknya membatasi sebab-akibat yang mengurai kejadian-kejadian didalamnya. ‘Masuk akal’ dan ‘tidak terhindarkan’ dipahami bukan sebagai alat untuk menilai sebuah cerita. Dua hal ini dimaksudkan agar kita sadar akan hukum sebab-akibat yang mempertautkannya.

ALUR

Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. ‘Subplot’ atau subplot (merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa yang enjadi bagian dari alur utama, nemun memliki cirri khas tersendiri. Satu subplot bias memiliki bentuk yang paralel dengan subplot lain. Tindakan ini merupakan upaya untuk menonjolkan signifikan; caranya adalah dengan teknik kontras atau similaritas. Salah satu bentuk subplot yang lazim dikenal ialah ‘narasi bingkai’. Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam analisis. Alur mengalir karena mampu merangsang berbagai pertanyaan di dalam benak pembaca.

Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memoliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat orang karakter dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘konflik utama’ yang bersifat eksternal, internal atau dua-duanya. Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sanngat intens sehingga endingna tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekauatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan.

KARAKTER

Tema ‘karakter’ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu. Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap kita terhadap karakter tersebut. Pada kasus lain, bunyi yang diartikulasikan dari nama karakter tertentu juga dapat mengarahkan kita pada sifat karakter itu. Bukti lain yang tidak kalah penting adalah deskripsi eksplisit dan komentar pengarang tentang karakter bersangkutan.

LATAR

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristwa yang sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun) cuaca, atau periode sejarah. Dalam berbagai cerita dapat dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang melingkupi sang karakter.

TEMA

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Oleh karena tema merupakan pernyatan generalisasi, akan sangat tidak tepat diterapkan untuk cerita-cerita yang mengolah emosi karakter-karakternya. Kita akan menggunakan tiga istilah yaitu ‘tema’, ‘gagasan utama’, dan ‘maksud utama’secara fleksibel, tergantung pada konteks yang ada. Pengarang adalah pencerita, tetapi agar tidak menjadi sekadar anekdot, cerita rekaannya harus memiliki maksud. Maksud inilah yang dinamakan tema. Fungsi tema telah sepenuhnya diketahui, namun identitas tema sendiri masih kabur dari pandangan. Tema dapat diibaratkan ‘maksud’ dalam sebuah gurauan, setiap orang paham ‘maksud’ sebuah gurauan, tetapi tetap mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjelaskannya. ‘Maksud’ adalah hal yang membuat sebuah gurauan menjadi lucu, dalam konteks ini, ‘maksud’ merujuk pada fungsi dan bukan definisi. Jadi tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalan cerita dengan cara yang paling sederhana. Cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya.

Akhirnya, kita memerlukan sarana-sarana sastra seperti simbolisme, ironi, dan seterusnya. Beberapa diantara sarana-sarana sastra tersebut telah disinggung sebelumnya, topik ini akan diulas lebih mendetail pada bagian selanjutnya dari bab ini. Lebih mengerucut lagi, tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut.

1. Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita.

2. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi

3. Interpretasi yang baik hendanya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit).

4. Interpretasi yang dihasilkan hendaknya di ujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan.

SARANA-SARANA SASTRA

Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Sebenarnya kita selalu berupaya memengaruhi reaksi pembaca atau lawan bicara ketika menulis atau berbicara. Tujuan ini kita relisasikan dengan bantuan sarana-saran retoris. Sarana-sarana sastra retoris dalam sastra dapat diupayakan agar menarik, tetapi sifat menarik tersebut justru akan membuat sastra jadi tidak ‘bernalar’ sehingga dijauhi oleh pembaca. Untuk memecahkan persoalan ini, seorang pengarang fiksi biasanya berpatokan pada dua tendensi dasar manusia. Pertama, kenali dahulu berbagai ‘pola’ yang ada seperti kontras, repetisi, similaritas, urutan klimaks, simetri, dan ritme. Ketika seorang seniman mengaplikasikan pola-pola seperti ini, karya-karynya akan menjadi berstruktur. Tidak hanya itu, struktur tersebut juga dapat diuraikan sehingga setiap elemen yang menyusun pola didalamnya dapat di renik hingga yang terkecil, dalam salah satu lukisannya. Tendensi kedua, pahami dan ingat-ingat setiap ‘asosiasi’ diantara benda-benda yang ditampilkan secara berbarengan, terutama ketika emosi kita turut terlibat didalamnya, seorang bocah akan merasa takut pada api karena tahu bahwa api memiliki sifat panas.

Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti konflik, klimaks, tone dan gaya dan sudut pandang. Sarana-sarana sastra lain seperti simbolisme sangat jarang dihadirkan. Sarana-sarana paling signifikan diantara berbagai sarana yang kita kenal adalah karakter utama, konflik utama dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan ‘kesatuan organis’ cerita. Ketiga-tiganya terhubung demikian erat, ketiga-tiganya menjadi fokus cerita itu sendiri.

JUDUL

Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Sebuah judul juga kerap memiliki beberapa tingkatan makna. Banyak judul fiksi yang mengandung alusi.

SUDUT PANDANG

Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama. Meski demikian perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Pada ‘orang pertama-utama’, sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Pada ‘orang pertama sampingan’ cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama atau sampingan. Pada orang ketiga terbatas tak terbatas; pengarang mengacu pada semua karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja. Pada ‘orang ketiga tidak terbatas tidak terbatas’, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memposisikannya pada orang ketiga. Terkadang sudut pandang digambarkan melalui dua cara yaitu subjektif dan objektif. Dikatakan subjektif ketika pengarang langsung menilai atau menafsirkan karakter. Sedangkan dikatakan objektif pengarang bahkan akan menghindari usaha menampakkan gagasan-gagasan dan emosi-emosi.

GAYA DAN TONE

Gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter dan latar yang sama hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa yang menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor, kekonkritan dan banyaknya imajinasi dan metafora. Campuran dari berbagai aspek diatas akan menghasilkan gaya. Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah ‘tone’. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bias nampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi atau penuh perasaan.

SIMBOLISME

Gagasan dan emosi terkadang tampak nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya kedua hal tersebut tidak dapat dilihat dan sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal tersebut agar tampak nyata adalah melalui ‘simbol’, simbol berwujud detail-detail konkrit dan faktual dan memilki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dalam fiksi simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Kedua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam cerita. Ketiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menentukan tema.

IRONI

Ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita. ‘Ironi dramatis’ atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya. Tone ironis atau ‘ironi verbal’ digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan.


BAGIAN III

CERPEN

Ketidaksamaan sifat pada novel dan cerpen melandasi perbedaan-perbedaan pendekatan bagi keduanya. Perbedaan paling jelas dari novel dan cerpen tampak dari panjang-pendeknya. Jenis yang terdapat di antara dua kategori tersebut dinamakan cerpen panjang, novella (novella atau novelette), dan novel pendek. Kadangkala kita mendengar opini yang mengatakan bahwa cerpen adalah novel yang diperluas atau novel tak lebih sekadar cerpen yang diperpanjang. Perbedaan mendasar antara cerpen dan novel telah berevolusi dan berkembang lebih dari sekedar perbedaan ukuran. Seiring dengan berlaunya kreativitas para pengarang demi mendobrak berbagai keterbatasan, banyak bermunculan pernak-pernik menarik yang menghiasi karya sastra.

Cerita pendek haruslah berbentuk “padat”. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel. Setiap bab dalam novel menjelaskan unsurnya satu demi satu. Dalam cerpen, pengarang menciptakan karakter-karakter, semesta mereka, dan tindakan-tindakannya sekaligus, secara bersamaan. Sebagai konsekuensinya, bagian-bagian awal dari sebuah cerpen harus lebih padat ketimbang novel. Sesungguhnya seorang pembaca cerpen tidak selalu harus sensitive terhadap kehadiran implikasi-implikasi tersebut. Apa yang ia perlukan adalah kemampuan untuk mengingat-ingat semua detail yang nantinya akan bermanfaat. Dengan demikian seorang pembaca hendaknya membaca cerita lebih dari sekali.

Bukti lain yang menunjukkan kepadatan cerpen adalah penhhunaan simbolisme. Seorang pembaca mampu memahami A Farewell to Arms tanpa harus tahu bahwa hujan menimbulkan kematian. Sebaliknya, seorang pembaca tidak akan pernah sepenuhnya mengerti The Snows on Kilimanjaro karya Hemingway tanpa mengetahui bahwa gunung (dibagian akhir si penulis yang sekarat membayangkan dirinya terbang) menyimbolkan hilangnya integritas. Umumnya, pembaca cerpen membutuhkan waktu singkat. Menurut ulasan Edgar Allan Poe (1842) atas karya Nathaniel Hawthorne yang berjudul Twice-Told Tales, keunggulan cerpen atas novel terletak pada fisiknya yang ringkas. Menurut Poe untuk memunculkan efek ini, pengarang hendaknya tidak berboros-boros kata. Poe mengutarakan bahwa ada dua efek yang cocok dimunculkan pada cerpen. Efek yang pertama adalah ‘hasrat’ atau yang diuraikannya sebagai ‘kengerian’ sedangkan efek kedua adalah ‘kebenaran’ atau ‘usaha untuk menjelaskan secara cerdas’ seperti yang ada pada cerita detektif.

Menurut teori Poe, cerita dalam cerpen dilingkupi oleh dua efek yaitu ‘kengerian’ dan ‘kecerdasan’. Sebenarnya banyak pengarang yang membangun cerpen dari tema-tema tersebut tetapi Poe seorang adalah contoh yang memadai. Situasi literal dalam fiksi karya Hawthorne sama mengambil tema dari kejadian nyata dan umum. Young Goodman Brown menggambarkan secara nyata sosok seorang Puritan yang menghadiri sebuah perkumpulan sesat di dalam hutan. Dari segi tematis cerpen ini bertema hilangnya pengaruh idealism bagi kebaikan manusia.

Perbedaan kedua, dialog-dialog yang ada di dalamnya relevan dengan kehidupan sehari-hari, latar yang terlukis sangat detail dan dapat dikenali, dan situasi-situasinya memungkinkan. Aslinya cerpen adalah cerita yang dimaksudkan untuk memesona pembaca. Dapat disaksikan bahwa tekanan Poe terhadap istilah ‘efek’ merupakan pembaruan atas konsep ini. Hawthorne menganggap cerita sebagai perenungan simbolis atas suatu pandangan ini bermaksud mengatakan bahwa tujuan cerpen yang sebenarnya berada di luar, di balik, atau melampaui aktualitas permukaannya. Sebagian besar pengarang modern beranggapan bahwa cerita adalah eksplorasi pengalaman tertentu. Ada unsur kepuasan atas ketepatan dan kepadatan realism yang hilang meski dalam kisah-kisah rekaan terbaik.

Ketika pembaca karya-karya Poe dan Hawthorne kita akan tahu bahwa dua pengarang ini mereka-reka kejadian dan menyusunnya dengan tujuan membangun tema atau efek emosional. Seorang pengarang realis wajib menampakkan makna melalui berbagai detail yang signifikan, perkembangan konflik yang memuncak, dan plot yang mengerucut tanpa harus ada yang merobohkan keserupaan cerita karangannya. Oleh karena mengeksplorasi realitas mengandung atmosfer realitas, dan tersusun atas berbagai gaya bahasa dan maknanya cerita menjadi dua kali lebih realistis.

Perbedaan ketiga hanya terjadi pada segelintir cerita modern. Pola eksternal yang mereka gunakan untuk membentuk cerita ini sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan cerita-cerita kebnayakan. Alur yang mengalir dalam cerita-cerita ini bersifat fragmentasi, tebelah, dan cenderung inkonklusif. Cerita-cerita Chekhov terbangun dari kejadian-kejadian bertipe tertentu. Yang terpenting disini adalah jenis kejadian. Kejadian yang dimaksud adalah kejadian yang muncul dalam cerita yang sudah jadi dan bukannya kejadian sebenarnya. Yang kita miliki hanya keyakinan, keyakinan bahwa pasti ada suatu cara untuk merunut kejadian-kejadian tersebut sehingga seluruhnya dapat dimengerti. Oleh karena terlampaui mirip dengan dunia nyata, detail-detail tersebut mewarisi berbagai kontradiksi dan ketidaksesuain yang kerap dialami di dunia yang sebenarnya.

Sebagai penulis merasa bahagia ketika mengetahui bahwa cerita yang dituliskan seolah-olah dapat berdiri sendiri tanpa campur tangan penulis, kebalikannya seorang pengarang cerita ‘terencana’ terkonsentrasi pada sau tujuan yaitu ‘mengomunikasikan’ makna kejadian-kejadian yang dituliskan. Ulasan pertama diawali dengan kewajiban seorang pengarang cerpen untuk mengeksplorasi kelebihan sekaligus mengatasi kekurangan ketika menulis cerpen (yang secara fisik pendek). Dari poin pertama ini kita tahu bahwa untuk kemudian, genre cerpen berkembang pesat dengan berbagai keunikan. Cerpen tersatukan melalui ‘tema’ dan ‘efek’. Cerpen bergaya pedat; salah satu perangkat kepadatan yang lazim digunakan didalamnya adalah simbolisme. Cerpen tersusun atas berbagai tingkatan; ia menggugah kepekaan realisme pembaca, pemahamannya, emosinya dan kepekaan moralnya secara simultan. Cerpen memiliki efek mikrokosmis karena mampu mengungkap satu makna yang demikian besar melalui sepotong kejadian saja.

Menurut Willian Faulkner, “Setiap noveles mungkin ingin menulis puisi terlebih dahulu. Oleh karena sulit ia beralih pada cerpen yang setingkat lebih lebih sulit ketimbang puisi. Setelah gagal, ia akan beralih ke novel karena merasakan lebih banyak kemudahan”. Satu hal yang pasti, setiap petualangan literer yang matang akan lebih menghargai ketrampilan dan keahlian artistic pengarang. Cerpen merupakan contoh sempurna dari genre karya sastra yang pantas diperlakukan sedemikian rupa.

BAGIAN IV

Novel

Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa yang ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. Novel lebih mudah sekaligus lebih sulit dibaca jika dibandingkan dengan cerpen. Dikatakan lebih mudah karena novel tidak dibebani tanggungjawab untuk menyampaikan sesuatu dengan cepat atau dengan bentuk padat dan dikatakan lebih sulit karena novel dituliskan dalam skala besar sehingga mengandung satuan-satuan organisasi yang lebih luas daripada cerpen.

Fisik novel yang panjang akan mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian kecil dari alur cerita. Hal ini akan menjadi penghalang ketika pembaca berusaha memahami struktur perluasan dari novel bersangkutan karena untuk merunut struktur perluasan tersebut, perlu melangkah mundur waktu demi waktu. Setiap bab dalam novel mengandung berbagai episode. Setiap episode terdiri atas berbagai macam topik yang berlainan. Episode-episode dan topik-topik tersebut dapat dileburkan dalam satu bab karena suatu alasan tertentu. Sekuen-sekuen bab tersebut akan membentuk grup-grup yang lebih besar lagi sampai pada akhirnya kita paham akan keseluruhan bagian dari novel yang bersangkutan. Setiap episode atau bab yang tidak beruntun belum tentu tidak berhubungan. Episode-episode dan bab-bab tersebut sangat mungkin memiliki keterkaitan satu sama lain. Setiap episode dalam novel hendaknya diulas secara individual maupun secara general.

Istilah ‘episode’ dalam fiksi hamper mirip dengan ‘adegan’ dalam drama. Pergeseran dari satu episode ke episode lain ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau karakter-karakter. Tipe-tipe episode yang umum dikenal adala ‘naratif’ atau ‘ringkasan’ dan ‘scenic’ atau ‘dramatis’. Episode naratif bercerita bahwa sesuatu telah terjadi. Adegan menunjukkan peristiwa yang sedang terjadi, sebagian besar melalui perantaraan dialog. Episode ‘analitis’ atau ‘meditatif’ menggambarkan si pengarang atau karakter rekaannya merenungkan karakter lain atau peristiwa yang telah berlalu. Untuk mencapai pemahaman, pembaca mesti peka terhadap berbagai efek, tempo, kontras, dan penjarakan yang disodorkan oleh pengarang melalui tiap-tiap episode.

Seorang pembaca harus sadar bagaimana setiap episode dalam novel saling berhubungan. Episode-episode dan juga bab-bab yang menampungnya saling berhubungan erat. Keadaan ini berlangsung konsisten meski masing-masing episode terkonsentrasi pada karakter-karakter atau peristiwa-peristiwa yang berlainan.

Agar novel lebih dapat dipahami, perlu dibuat semacam daftar yang menampung setiap peristiwa pada tiap-tiap bab. Kerangka tersebut akan membantu kita memahami kaitan satu episode dengan episode lain dan melacak perantaraannya. Sarana-sarana mekanis ini digunakan untuk menysun setiap peristiwa dalam novel secara kronologis. Pembaca dapat lebih mudah mengingat setiap peristiwa yang telah berlangsung pada bagian sebelumnya. Selain itu, pembaca juga akan lebih terbebas dari naratif linear dan lebih mampu memahami pola dan struktur dari novel bersangkutan.

Pada kasus-kasus tertentu, pembaca terpaksa mengidentifikasi pembagian-pembagian dalam novel. Pembagian-pembagian tersebut mungkin sudah dilakukan secara formal atau hanya ditandai oleh pergeseran satu kejadian ke kejadian lainnya.

Pembaca harus mengenali prinsip kebersatuan novel. ‘Kebersatuan’ novel serupa dengan ‘kebersatuan’ pada cerpen. Artinya, seluruh aspek dari karya harus berkontribusi penuh pada maksud utama atau tema. Hal pertama yang dapat dilakukan pembaca adalah membaca novelnya dengan hati-hati dan menelisik tiap-tiap episode, karakter, hubungan-hubungan, dan alur di dalamnya. Kemudian, pembaca harus merenungkan kembali apakah setiap aspek tersebut berkontribusi penuh pada keseluruhan novel. Terakhir, ia akan menemukan tema atau maksud utama yang merangkum aspek-aspek tersebut menjadi satu.

Ada satu lagi ‘kebersatuan’ pada novel yang membedakan dengan cerpen. Kebersatuan tersebut adalah kebersatuan ‘dunia’-nya. Dunia dalam novel sangat memadai bahkan bila digunakan untuk menampung berbagai jenis pengalaman. Dunia dalam novel terdiri atas dunia individu dan dunia novel. Dunia individu adalah dunia tempat individu bersangkutan peduli, segala sesuatu yang membuat ia merasakan pengalaman baru. Dunia novel adalah kombinasi berbagai elemen seperti nilai-nilai, hukum-hukum, kekuatan-kekuatan, kemungkinan-kemungkinan, dan masalah-masalah yang cukup besar untuk ditampung ke dalam satu wadah. Setiap karakter, peristiwa, dan adegan yang digambarkan dalam dunia tersebut harus dapat dimaknai.

Banyak orang mengira bahwa cara termudah untuk memahami dunia novel adalah dengan bertanya kepada pengarangnya. Kenyataannya, kebanyakan pengarang akan menolak ketika diminta menjelaskan karya mereka secara mendalam atau mungkin novel tersebut justru mejelaskan banyak hal, lebih dari perkiraan pengarang sendiri.

Ada beberapa hal seperti lingkungan, warisan karakter, kecerdasan, dan kecelakaan yang dapat berdampak pada nasib setiap karakter dalam setiap novel. Rangkaian peristiwa dalam novel melawan prinsip-prinsip utamnya sendiri sehingga tampak jujur. Koherensi novel terletak pada kemampuannya merangkai setiap peristiwa dalam ikatan prinsip-prinsip utama. Apabila seorang pembaca gagal merekonsiliasikan satu karakter atau peristiwa dengan prinsip-prinsip utama dalam novel maka dapat dikatakan bahwa sebelumnya ia telah gagal memahami prinsip-prinsip tersebut.

Serupa cerpen, ukuran panjang novel mendikte setiap ciri khas yang ada padanya. Novel tidak bergaya padat seperti cerpen karena novel memiliki ruang lebih untuk menggambarkan setiap situasi di dalamnya secara penuh dan karena novel menyulitkan pembaca untuk berkonsentrasi. Novel menyediakan ruang yang cukup besar bahkan bila digunakan untuk menampung berbagai pengalaman dan prinsip. Tiap-tiap episode novel berbeda satu sama lain, bergantung pada latar, tone, dan temanya masing-masing. Episode-episode dalam novel disatukan dalam satu wadah yang hanya dapat dilihat ketika pembaca ‘melangkah mundur’ secara teratur. Wadah tersebut bersifat kumulatif sehingga membuat novel mampu menciptakan efek berupa keagungan, keragaman, evolusi, dan tragedi.

Apabila sebuah topik dipandang terlalu rumit untuk sebuah cerpen atau terlalu mengerucut untuk sebuah novel maka bentuk diantara keduanya dapat menjadi pilihan. Karya semacam ini dinamakan cerpen panjang, novel pendek, atau novella. Novella terbaik mampu menggabungkan kepadatan cerpen dengan bangunan raksasa dan perkembangan novel.

Keunikan-keunikan dalam novel dapat kita temukan dalam novel karangan siapapun. Keunikan tersebut dapat berupa prinsip-prinsip etis, konflik-konflik, tipe-tipe latar, karakter-karakter, dan tindakan. Elemen-elemen tersebut merupakan dunia ‘pengarang’. Pengetahuan tentang dunia pengarang akan membantu kita memahami setiap karyanya. Setiap dunia tidak pernah benar-benar identik satu dengan yang lain. Para kritisi bertugas menjelaskan dunia tipikal seorang pengarang sekaligus menjelaskan keragaman aplikasinya pada karya-karya berbeda.

Perkenalan kita dengan pengarang-pengarang akan bernilai lebih sehingga sulit untuk dijelaskan. Pertama adalah hal yang sangat menyenangkan untuk dapat membaca karya-karya mereka. Ada lebih banyak pembaca yang tertarik untuk menikmati sebuah karya ketimbang menjadikannya alat untuk mendidik kepribadian. Seorang novelis dicap sebagai seorang pengarang klasik ketika ia berhasil menjadikan karya-karyanya dapat dinikmati oleh pembaca. Keuntungan lain, kita dapat dengan mudah mengenali dan menilai imitator-imitator mereka dan menangkap berbagai kutipan dalam karya-karya imitasinya. Dan keistimewaan yang terakhir, pengarang member jalan agar pembaca dapat memandang dunia yang sebenarnya.

Bagian V

Tipe-tipe Fiksi

Novel, cerpen, dan novella merupakan kategorisasi formal. Tipe-tipe yang berada di antaranya adalah kategori-kategori jenis lain. Kategori-kategori tersebut dapat ditentukan oleh teknik (alegori), tipe isi (fiksi ilmiah), tema (eksistensialisme), atau kombinasi semuanya.

Ciri khas novel detektif ada pada kecenderungan untuk mereduksi setiap kebiasaan manusia ke dalam rangkaian-rangkaian logis. Novel detektif berisi cukup petunjuk untuk membentuk sekuen peristiwa-peristiwa berikutnya dan upaya untuk mengidentifikasikannya. Karena mereduksi semua hal ke dalam logika-logika, cerita-cerita detektif cenderung mengabaikan emosi dan moralitas. Dalam novel detektif tidak ditemukan tokoh yang menyesal dan menderita, hal ini karena dua hal terseut dianggap merusak pandangan yang sudah ada. Dengan kata lain, pengarang atau pembaca menciptakan dan membaca berbagai cerita detektif, romantis, realis, naturalis, atau alegori karena kategori-kategori tersebut menyediakan cara untuk memandang hidup, menyediakan suatu cara pandang terhadap pengalaman.

Cara termudah untuk memulai adalah dengan membagi pengalaman ke dalam beberapa elemen pokok yang seluruhnya berjumlah empat. Bagian pertama berasal dari kedalaman individu sedangkan bagian lain bermula dari dunia eksternalnya. Individu terdiri atas emosi dan akal. Dunia eksternal dapat dibagi menjadi (1) fenomena fisis atau fakta yang dilihat, didengarkan, dan disentuh oleh individu dan (2) makna tidak terlihat dari fenomena terseut, kekuatan dan hukum yang melingkupi baik yang bersifat ilmiah, ekonomis, politis, moral, maupun spiritual.

Elemen-elemen tersebut tidak menonjol secara bersamaan dalam pengalaman seorang individu. Pembaca akan lebih sering tergugah oleh tegangan antara akal yang ia punya dengan fenomena-fenomena di hadapannya.

Fiksi realis ingin menunjukkan bahwa fakta actual, yaitu fakta yang diatur oleh hukum-hukum material dan bukan merupakan subjek dari keinginan kita, merupakan suatu elemen yang tidak dapat dihindari pada pengalaman manusia.

Fiksi romantis menggambarkan hidup sebagai pergulatan antara emosi individu dengan kekuatan alam, termasuk juga emosi orang lain. Oleh karena emosi dan kekuatan dunia hanya dapat menjangkau fakta-fakta kasar yang berwujud mimpi, kegilaan, atau pengalaman-pengalaman mistik. Fakta-fakta dalam fiksi romantis dapat melampaui hukum-hukum fisis atau jika tidak, pengarang dapat mengonstruksi sebuah dunia yang fakta-fakta tersebut sesuai dengan kekuatan-kekuatan yang ada.

Fiksi ilmiah dan utopis menunjukkan arah hukum-hukum material dengan menggambarkan hubungan-hubungan yang diciptakannya. Fiksi psikologis, arus kesadaran, otobiografis, dan bildungsroman bermaksud mengetengahkan kerumitan atau perkembangan yang terjadi pada kehidupan batin seorang individu yaitu gabungan antara emosi dan akalnya. Episodis dan pikaresk merupakan tipe alur di mana individu dibenturkan dengan serangkaian fakta dan situasi. Fiksi eksistensialis beranggapan bahwa setiap kekuatan yang ada di balik fakta-fakta duniawi sama sekali tidak dapat dimengerti, tidak terjangkau, atau bahkan tidak hadir.

ROMANTISME DAN REALISME

Romantisme dan Realisme, dua kata ini masih memiliki arti yang ambigu, sebab dua kata ini dapat merujuk pada dua hal yang sama sekali berbeda, yaitu teknik penulisan suatu karya dan pandangan filosofis. Fiksi romantis kerap mengambil latar masa yang sudah lewat, tempat yang tidak biasa atau di luar jangkuan, atau wilayah rekaan yang lokasi sebenarnya tidak jelas. Berbeda dengan romantis, realisme lebih percaya bahwa setiap orang akan mendapat kebahagiaan ketika mengambil pilihan-pilihan yang disediakan oleh dunia. Fiksi realisis menekankan kemiripan dengan dunia yaitu kemiripan yang menyangkut pada kebenaran faktual.

Dengan demikian, seorang pengarang romantis bebas untuk mendistorsi dan mewarnai realitas, bebas untuk memilih dan menyusun apa saja, bebas menyodorkan berbagai kejadian, dan bebas untuk membuat potret emosional. Namun, dunia yang diciptakan oleh seorang pengarang romantis harus tampak nyata sehingga diyakini pembaca.

FIKSI GOTIK

Satu dari sekian banyak genre yang mampu mengakomodasi teknik dan filosofi romantis sekaligus adalah Gotik. Di zaman sekarang, fiksi Gotik sering disebut ‘cerita horor’. Sarana-sarana yang paling sering dieksploitasi dalam fiksi Gotik adalah makam, hantu, mayat, rumah berhantu, suara-suara aneh, pintu rahasia, dan adegan tengah malam.

NATURALISME

Salah satu bentuk realisme yang masyur pada akhir abad ke-19 adalah naturalisme. Para pengarang naturalis percaya bahwa akurasi sains dapat diterapkan pada fiksi. Salah satu prinsip dasar naturalisme adalah objektivitas. Seorang pengarang adalah seorang pengarang objektif, seseorang yang tidak akan membiarkan moralitas mendiktenya. Kriteria kedua adalah deterministik, yaitu pelaku atau subjek atau individu yang ditempatkan dalam kondisi eksperimental tidak memiliki kehendak bebas. Naturalisme percaya bahwa perilaku manusia digerakkan oleh kekuatan psikologis, fisiologis, ekonomis, dan sosial, sehingga tidak ada satu individu pun yang memegang kendali atas hidupnya.

FIKSI PROLETARIAN

Kekecewaan pada lingkungan yang terealisasi dalam bentuk tema eksplisit akan menelurkan ‘fiksi proletarian’ atau ‘novel protes sosial’. Fiksi proletar berusaha memotret ketidakadilan secara lebih spesifik. Fiksi proletarian tidak mewarisi karakter deterministis dan pesimistik milik naturalisme.

NOVEL DEDAKTIS

Novel pekerti masuk dalam kategori realis. Ditilik dari posisinya, novel ini berada berseberangan dengan naturalisme. Oleh karena naturalisme bersifat deterministik, segala perkataan, pemikiran, dan moralitas setiap karakter dalam novel dikendalikan oleh kekuatan dari luar sehingga tidak lagi berperan penting. Karakter-karakter dalam novel ini dikendalikan demi memenuhi tujuan-tujuan tertentu, namun mampu dan dapat bertindak apa saja dalam hidup. Novel dedaktis percaya bahwa perilaku sosial atau ‘pekerti’ dapat diandalkan, penting, dan menjadi sandaran bagi setiap karakternya.

ALEGORI DAN SIMBOLISME

Alegori berbeda sifat dengan realisme karena acap mengetengahkan peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin terjadi. Alegori juga berlainan sifat dengan romantisme karena lebih mengedepankan akal ketimbang emosi. Alegori adalah pernyataan implisit tentang politik, agama, moralitas, atau topik-topik lain yang didramatisasi sedemikian rupa.

Dalam alegori selalu terdapat hubungan ‘satu lawan satu’ antara tokoh-tokoh tertentu dengan maknanya atau dengan kata lain, setiap tokoh dalam alegori mengacu pada maknanya sendiri-sendiri. Dalam simbolisme, setiap tokoh simbolis selalu bermakna ambigu dan kompleks, maknanya tidak dapat dipastikan ‘satu lawan satu’ seperti dalam alegori.

Tokoh-tokoh simbolisme tampak lebih hidup dibanding tokoh-tokoh alegoris. Sebab alegori mengangkut makna langsung melalui nama, ciri fisik, penampilan, dan hubungan fisik. Pemahaman akan realitas tokoh-tokoh novel simbolis biasanya dihadirkan oleh unsure-unsur internal.

SATIR

Satir adalah karikatur versi sastra karena cenderung melebih-lebihkan, cerdas, sekaligus ironis. Satir mengekspos absurditas manusia atau intuisi, membongkar kesenjangan antara topeng dan wajah yang sebenarnya. Satir juga bermaksud serius sehingga sering disebut vitrolist, pahit, atau sardonis. Sebenarnya banyak novel nonsatiris yang berisikan tokoh-tokoh dan episode-episode satiris. Serangan terbanyak mereka tujukan pada kemunafikan, agama, dan sastra romantis.

FIKSI ILIMIAH DAN UTOPIS

Fiksi ilmiah mencoba menjelajahi segala kemungkinan dalam prinsip-prinsip ilmiah dan kemudian merepresentasikannya dalam bentuk fiksi. Alur dalam fiksi ilmiah berpegang pada logika yang tumbuh dari prinsip-prinsip ilmiah; semua masalah muncul dan diselesaikan secara logis. Dalam sastra serius, fiksi ilmiah kerap dipakai untuk mengomentari dunia kontemporer.

Bentuk lain yang memiliki keterkaitan dengan fiksi ilmiah adalah ‘fiksi Utopis’. Novel utopis menggambarkan sebuah masyarakat yang menjadi proyeksi idealism politis dan ekonomis sang pengarang di dunia nyata. Istilah utopis juga digunakan untuk menyebut novel-novel yang menyerang prinsip-prinsip kontemporer dan berusaha menggantikannya dengan prinsip-prinsip berformat futuristik.

EKSPRESIONISME

Dalam sastra, ekspresionisme dianggap sebagai teknik untuk mengomentari masyarakat atau mengeksplorasi jiwa. Sehingga situasi yang digambarkan oleh ekspresionisme menjadi terbalik. Pemikiran atau perasaan setiap tokoh atau makna dari seiap situasi ditampilkan seolah-olah mimpi dan berwujud symbol-simbol menyeramkan sehingga sedikit sekali kadar kemiripannya dengan dunia nyata.

FIKSI PSIKOLOGIS: ARUS KESADARAN

Fiksi psikologis adalah salah satu aliran sastra yang berusaha mengeksplorasi pikiran sang tokoh utama, terutama pada bagiannya yang terdaam yaitu alam bawah sadar. Fiksi psikologis sering menggunakan teknik bersama ‘arus kesadaran’. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kepingan-kepingan impresi, gagasan, kenangan, dan sensasi yang membentuk kesadaran manusia.

FIKSI OTOBIOGRAFIS (BILDUNGSROMAN)

Fiksi otobiografis berbeda dengan otobiografi karena sifatnya yang fiktif (sebagai fiksi, fiksi otobiografis memiliki alur, konflik utama, dan sebagainya). Pengarang novel otobiografis bebas memanipulasi fakta sehingga dapat menekan tema yang dipandang utama dalam proses kedewasaannya.

Agak berbeda dengan novel otobiografis adalah bildungsroman atau novel perkembangan. Bildungsroman tidak perlu mengambil modelnya dari dunia nyata. Sesuatu yang diperlukan bildungsroman adalah satu tokoh utama yang dapat dieksplorasi. Topik yang menjadi bahasan novel terpusat pada persoalan kedewasaan intelektual, moral, spiritual, maupun artistik.

FIKSI EPISODIS DAN PIKARESK

Episodis dan pikaresk merupakan terminology striktural yang hanya diperuntukkan bagi novel. Aur dalam novel episodis disusun dalam episode yang berbeda. Setiap episode novel melengkapi dirinya sendiri, terangkai oleh satu atau beberapa tokoh. Ada dua problem utama yang menghadang pembaca ketika menikmati novel yaitu merumuskan sifat yang dimiliki oleh sang karakter utama dan memahami topik yang mengemuka di tiap-tiap episodenya. Satu subkelas yang tidak dapat dilupakan dari novel episodis adalah ‘novel pikaresk’. Novel pikaresk biasa disandangkan pada novel episodis dengan hero berkarakter cerdik dan berasal dari kelas sosial rendah.

FIKSI EKSISTENSIALIS

Fiksi eksistensialis dipandang sebagai fiksi pengusung persoalan-persoalan yang menjadi bahasan filsafat eksistensialisme. Gagasan utama dalam filsafat tersampaikan lewat ungkapan “Eksistensi mendahului esesi”. Artinya, manusia dihadapkan pada fakta fisis yang buram dan mengada dalam ruang dan waktu secara bersamaan (ekstensi). Manusia tidak memiliki cara untuk memahami makna, maksud, dan sifat-sifat hakiki dari apa yang dhadapinya. Masalahnya, manusia memerlukan makna dan tidak dapat hidup tanpanya.

Fiksi eksistensialis memperluas topic bahasannya pada keterisolasian, ketidakjelasan identitas, dan kegagalan individu dalam membangun hubungan interpersonal yang memuaskan dan keburaman dan absurditas dunianya.

BAGIAN VI

Menulis Makalah Kritik Sastra

Bila ingin menulis tentang beberapa karya maka diperlukan konsultasi dengan dosen penanggungjawab. Oleh karena bentuk makalah maka topik bahasan bahasan yang dipilih harus dikerucutkan. Tidak tepat kiranya membahas terlalu banyak karya dalam media yang terlampau terbatas karena hasilnya akan dangkal.

Bentuk tugas semacam ini biasanya akan mengesampingkan tiga hal, yaitu aspresiasi, ulasan, dan makalah kepustakaan. Apresiasi merupakan sejenis tulisan yang mengharuskan penulis menjelaskan efek karya sastra terhadap penulis atau dengan kata lain, ‘impresi’ penulis terhadap karya tersebut. Dalam penulisan makalah kritik sastra, pembaca tulisan penulis dianggap sudah pernah membaca karya yang sedang penulis bahas. Pembaca tidak harus memenuhi sepenuhnya karya yang dibicarakan. Ulasan lebih merupakan deskripsi sifat-sifat utama sebuah karya sastra disertai sedikit penjelasan singkat. Makalah kepustakaan adalah ‘ringkasan’ berbagai kritik sastra dari satu karya tertentu yang kemudian disusun dalam satu makalah.

Kritik terdiri atas dua jenis yaitu analisis dan evaluasi. Meski kerap ditemukan dalam satu makalah, keduanya memiliki perbedaan prinsip. Tujuan sebuah analisis adalah untuk meningkatkan pengetahuan pembaca terhadap suatu karya. Tujuan ini dicapai dengan mengisolasi beberapa elemen tertentu dan kemudian menjelaskan sifat-sifatnya, hubungan-hubungannya, dan kontribusinya pada efek karya tersebut.

Cara menentukan topik untuk makalah analitis yang pertama dan utama adalah semua topik hendaknya diberi batasan yang jelas. Sebagai contoh, sebuah makalah mungkin menerapkan pola ‘ringakasan’ cerita agar pembaca selalu ingat akan pola karya tersebut, deskripsi ‘singkat’ terkait karakter-karakter utama dalam karya tersebut, pernyataan terkait tema atau maksud utama dari karya tersebut, dan analisis terhadap satu atau teknik yang dipakai dalam karya tersebut dan efek yang diberikannya terkait tema dan maksud seperti yang telah disebutkan pada poin 3.

Salah satu kiat menentukan topik adalah dengan menyusun satu catatan kecil. Akan sangat mudah memilih satu dari sekian banyak topik yang ada. Dengan demikian, catatan yang dibuat hendaknya merangkum berbagai detail dengan cara yang sederhana, catatan tersebut hendaknya mengungkapkan kesatuan dalam keragaman.

Salah satu cara paling efektif untuk menemukan sebuah topik adalah mengulas setiap elemen dalam sebuah karya secara berulang-ulang.

Fungsi lain yang diharapkan dari sebuah kritik adalah fungsi evaluatif. Evaluasi berarti menilai kadar kebaikan sebuah karya (sebuah makalah evaluatif yang pendek akan dibatasi pembahasannya, satu kelebihan atau satu kekurangan saja). Sikap subjektif dalam mengevaluasi harus berusaha dihilangkan.

Seorang pembaca pemula mencerca sebuah karya fiksi dengan menyebutnya terlalu sulit, terlalu membosankan, atau terlalu amoral. Criteria seperti sulit, membosankan, dan amoral bias jadi kriteria-kriteria yang valid, tetapi lebih sering bukan. Jika seorang pembaca mengeluhkan sulitnya memahami sebuah karya, bias dikatakan pembaca tersebut bermasalah saat membaca karya bersangkutan.

Sebutan ‘membosankan’ biasanya dilontarkan karena sebuah cerita dianggap ‘tidak menceritakan apapun’. Masalahnya, sesuatu yang baik pun terkadang juga tidak dapat diketahui keberadaannya karena memang tidak tampak secara fisik. Memang, ada beberapa cerita memang benar-benar sulit dan membosankan. Hanya saja, memang dibutuhkan pemahaman yang mendalam untuk menilai sulit-tidaknya sebuah karya.

Banyak pembaca yang menilai karya sastra dengan standar moral (dengan standar moral yang lebih sederhana dibanding standar moral dalam hidup). Biasanya, sebutan amoral dituduhkan karena cerita bersangkutan dapat berdampak buruk pada pribadi-pribadi yang abnormal atau belum dewasa.

Apa yang dibicarakan di sini berakhir pada penilaian (moral, estetis, atau politis) yang timbul lewat fiksi. Metode pertama, penilaian dapat dilakukan dengan dasar hukum-hukum kategorial. Objek-objek tertentu yang sedang dinilai ditentukan atribut baik atau buruknya secara absolut. Metode kedua, kita dapat menempatkan situasi total dalam satu lingkup bahasan dengan membahasnya satu per satu.

Perbedaan antara fiksi baik dengan fiksi buruk terletak pada kebersatuannya. Fiksi yang baik selalu mengandung satu maksud utama. Maksud utama inilah yang diselenggarakan bersama-sama oleh semua elemen dalam fiksi bersangkutan.

Fiksi serius yang baik selalu mengharuskan kita menilai setiap tokoh dan kejadian di dalamnya berdasarkan situasi total yang ada dan bukan berdasarkan hukum-hukum kategorial atau pra-anggapan yang telah terbentuk sebelumnya.

Kriteria-kriteria lain yang dapat dijadikan pegangan adalah ‘kejujuran’ yang mengacu pada upaya pengarang untuk mencantumkan fakta-fakta yang sekilas tampak berbenturan dengan tema utama dalam novelnya. Jawaban dari kejujuran yaitu koherensi. Koherensi merupakan kemampuan untuk meresolusi kontradiksi-kontradiksi yang sebelumnya muncul. Kriteria lain yang amat sering disodorkan adalah ‘kebersatuan organis’. Setiap elemen wajib mendukung maksud utama yang ingin dikedepankan pengarang dalam sebuah karya.

‘Orisinalitas’ adalah criteria yang penting namun kerap disalahartikan, kriteria ini tidak selalu berarti kebaruan. ‘Orisinalitas’ mengharuskan setiap pengarang berkaca pada perasaan, pengalaman, dan persepsinya sendiri selain memiliki kekayaan tokoh dan keragaman rangkaian alur.

Kriteria lainnya adalah ‘konsistensi’. Menurut Aristoteles, seorang tokoh dapat diangga inkonsisten ketika inkonsistensinya bersifat konsisten. Yang dikatakan konsisten dalam sebuah karya fiksi adalah semua yang masuk akal dalam konteks karya bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan inkonsisten adalah apa saja yang dianggap senjang, tidak masuk akal, atau kontradiktif.

Sebuah karya mungkin masuk dalam kriteria jujur, koheren, menyatu, orisinil, dan konsisten. Akan tetapi, karya yang demikian ini belum tentu bias disebut ‘hidup’. Setiap karya yang tidak hidup layak diberi cap ‘artifisial’ atau ‘tiruan’.

Problem pertama dalam menulis sebuah makalah evaluatif adalah memilih topik. Problem berikutnya, bagaimana cara mengumpulkan dan mempelajari bukti-bukti. Kesalahan yang sering terjadi adalah lupa mencantumkan fase ini sehingga topik yang sebelumnya dipilih menjadi tidak berkembang.

Sebuah kritik selalu bergantung pada penemuan topik yang mengemuka dan layak untuk ditindaklanjuti, pemeriksaan setiap baris novel yang relevan dengan topik tersebut secara berulang-ulang, dan kewaspadaan terhadap berbagai pola atau petunjuk yang merangkum semua bukti.

Makalah yang dibuat akan terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama memuat berbagai pernyataan eksplisit tentang topik yang dipilih termasuk diantaranya batasan penelitian yang dibuat. Bagian kedua adalah bagian argumen. Bagian ini memuat dan menguraikan beberapa kutipan dan bukti yang dapat memperluas topik bahasan. Bagian ketiga adalah kesimpulan. Kesimpulan merupakan ringkasan yang merangkum sekaligus menjelaskan setiap hal yang telah dikuak.

Ada beberapa kesalahan mendasar yang kerap dilakukan ketika menulis makalah kritik sastra. Pertama, beberapa makalah sama sekali tidak mengandung topik yang pasti atau malah mencampuradukkan dua sampai tiga topik sekaligus. Membatasi topik dapat membatasi pembicaraan sehingga penulis tahu saatnya harus berhenti menulis.

Posted by almuqontirin
No comments | 08.55

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2005
TENTANG
GURU DAN DOSEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang

:

a.
b.
c.
d.

bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;
bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.

Mengingat

:

1.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.

   

2.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301).

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG GURU DAN DOSEN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

3. Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

4. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

5. Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal.

6. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.

7. Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

8. Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja adalah pengakhiran perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama guru atau dosen karena sesuatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara guru atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

9. Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.

10. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

11. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.

12. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.

13. Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.

14. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.

15. Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

16. Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional.

17. Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.

18. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

19. Pemerintah adalah pemerintah pusat.

20. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.

21. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.

BAB II
KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Pasal 3

(1) Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Pasal 4

Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Pasal 5

Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Pasal 6

Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

BAB III
PRINSIP PROFESIONALITAS

Pasal 7

(1) Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:

a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;

b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;

c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;

d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;

e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;

f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;

g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;

h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan

i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

(2) Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.

BAB IV
GURU

Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi

Pasal 8

Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Pasal 9

Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.

Pasal 10

(1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1) Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 12

Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu.

Pasal 13

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban

Pasal 14

(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;

b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;

d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;

e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;

f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;

g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;

h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;

i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;

j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau

k. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
(2) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Pasal 16

(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 18

(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang bertugas di daerah khusus.
(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:

a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan

e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa;

Bagian Ketiga

Wajib Kerja dan Ikatan Dinas

Pasal 21

(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada guru dan/atau warga negara Indonesia lainnya yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai guru di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai guru dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

(1) Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.
(2) Kurikulum pendidikan guru pada lembaga pendidikan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan nasional, pendidikan bertaraf internasional, dan pendidikan berbasis keunggulan lokal.

Bagian Keempat

Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian

Pasal 24

(1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan menengah dan pendidikan khusus sesuai dengan kewenangan.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal sesuai dengan kewenangan.
(4) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru-tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensinya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan.

Pasal 25

(1) Pengangkatan dan penempatan guru dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Pasal 26

(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat ditempatkan pada jabatan struktural.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 27

Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28

(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan pendidikan dan/atau promosi.
(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengajukan permohonan pindah tugas, baik antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal permohonan kepindahan dikabulkan, Pemerintah atau pemerintah daerah memfasilitasi kepindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangan.
(4) Pemindahan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

(1) Guru yang bertugas di daerah khusus memperoleh hak yang meliputi kenaikan pangkat rutin secara otomatis, kenaikan pangkat istimewa sebanyak 1 (satu) kali, dan perlindungan dalam pelaksanaan tugas.
(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah wajib menandatangani pernyataan kesanggupan untuk ditugaskan di daerah khusus paling sedikit selama 2 (dua) tahun.
(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang telah bertugas selama 2 (dua) tahun atau lebih di daerah khusus berhak pindah tugas setelah tersedia guru pengganti.
(4) Dalam hal terjadi kekosongan guru, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti untuk menjamin keberlanjutan proses pembelajaran pada satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai guru yang bertugas di daerah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30

(1) Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai guru karena:

a. meninggal dunia;

b. mencapai batas usia pensiun;

c. atas permintaan sendiri;

d. sakit jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan; atau

e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan.

(2) Guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena:

a. melanggar sumpah dan janji jabatan;

b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau

c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.

(3) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 60 (enam puluh) tahun.
(5) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang diberhentikan dari jabatan sebagai guru, kecuali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.

Pasal 31

(1) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dapat dilakukan setelah guru yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
(2) Guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Bagian Kelima

Pembinaan dan Pengembangan

Pasal 32

(1) Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.
(2) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jabatan fungsional.
(4) Pembinaan dan pengembangan karier guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.

Pasal 33

Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat ditetapkan dengan peraturan Menteri.

Pasal 34

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Pasal 35

(1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.
(2) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam

Penghargaan

Pasal 36

(1) Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.
(2) Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Pasal 37

(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan.
(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat sekolah, tingkat desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.
(3) Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
(4) Penghargaan kepada guru dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan, hari pendidikan nasional, hari guru nasional, dan/atau hari besar lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38

Pemerintah dapat menetapkan hari guru nasional sebagai penghargaan kepada guru yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh

Perlindungan

Pasal 39

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.

Bagian Kedelapan

Cuti

Pasal 40

(1) Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan

Organisasi Profesi dan Kode Etik

Pasal 41

(1) Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen.
(2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
(4) Pembentukan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru.

Pasal 42

Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:

a. menetapkan dan menegakkan kode etik guru;

b. memberikan bantuan hukum kepada guru;

c. memberikan perlindungan profesi guru;

d. melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan

e. memajukan pendidikan nasional.

Pasal 43

(1) Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan.

Pasal 44

(1) Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru.
(2) Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru.
(3) Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.
(4) Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.
(5) Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

BAB V

DOSEN

Bagian Kesatu

Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik

Pasal 45

Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Pasal 46

(1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian.
(2) Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:

a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan

b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana.

(3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen.
(4) Ketentuan lain mengenai kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan keahlian dengan prestasi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh masing-masing senat akademik satuan pendidikan tinggi.

Pasal 47

(1) Sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut:

a. memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;

b. memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten ahli; dan

c. lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Pemerintah menetapkan perguruan tinggi yang terakreditasi untuk menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan perguruan tinggi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

(1) Status dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap.
(2) Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.
(3) Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor.
(4) Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen-tidak tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor.
(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.
(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai profesor paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 50

(1) Setiap orang yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi dosen.
(2) Setiap orang, yang akan diangkat menjadi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengikuti proses seleksi.
(3) Setiap orang dapat diangkat secara langsung menduduki jenjang jabatan akademik tertentu berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban

Pasal 51

(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:

a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;

b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;

d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;

e. memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan;

f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan

g. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 52

(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
(2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Pasal 53

(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 54

(1) Pemerintah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pasal 55

(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang bertugas di daerah khusus.
(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 56

(1) Pemerintah memberikan tunjangan kehormatan kepada profesor yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi setara 2 (dua) kali gaji pokok profesor yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 57

(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi dosen, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 58

Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 59

(1) Dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu langka berhak memperoleh dana dan fasilitas khusus dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.

Pasal 60

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban:

a. melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;

b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

c. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

d. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

e. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan

f. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Bagian Ketiga

Wajib Kerja dan Ikatan Dinas

Pasal 61

(1) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada dosen dan/atau warga negara Indonesia lain yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai dosen di daerah khusus.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai dosen dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 62

(1) Pemerintah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon dosen untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional, atau untuk memenuhi kepentingan pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat

Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian

Pasal 63

(1) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.

Pasal 64

(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah dapat ditempatkan pada jabatan struktural sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 65

Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.

Pasal 66

Pemindahan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Pasal 67

(1) Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:

a. meninggal dunia;

b. telah mencapai batas usia pensiun;

c. atas permintaan sendiri;

d. tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan karena sakit jasmani dan/atau rohani; atau

e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara dosen dan penyelenggara pendidikan.

(2) Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:

a. melanggar sumpah dan janji jabatan;

b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau

c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.

(3) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.
(5) Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun.
(6) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang diberhentikan dari jabatannya, kecuali sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.

Pasal 68

(1) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dapat dilakukan setelah dosen yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membela diri.
(2) Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.

Bagian Kelima

Pembinaan dan Pengembangan

Pasal 69

(1) Pembinaan dan pengembangan dosen meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.
(2) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen dilakukan melalui jabatan fungsional.
(4) Pembinaan dan pengembangan karier dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.

Pasal 70

Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat ditetapkan dengan peraturan Menteri.

Pasal 71

(1) Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen.
(3) Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.

Pasal 72

(1) Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.
(2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) satuan kredit semester (SKS) dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas) satuan kredit semester.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam

Penghargaan

Pasal 73

(1) Dosen yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.
(2) Dosen yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Pasal 74

(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi keilmuan, dan/atau satuan pendidikan tinggi.
(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan tinggi, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.
(3) Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
(4) Penghargaan kepada dosen dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan tinggi, hari pendidikan nasional, dan/atau hari besar lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh

Perlindungan

Pasal 75

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga profesional yang meliputi pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
(6) Dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk menggunakan data dan sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedelapan

Cuti

Pasal 76

(1) Dosen memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dosen memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan memperoleh hak gaji penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

SANKSI

Pasal 77

(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. teguran;

b. peringatan tertulis;

c. penundaan pemberian hak guru;

d. penurunan pangkat;

e. pemberhentian dengan hormat; atau

f. pemberhentian tidak dengan hormat.

(3) Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
(4) Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(5) Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.
(6) Guru yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mempunyai hak membela diri.

Pasal 78

(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. teguran;

b. peringatan tertulis;

c. penundaan pemberian hak dosen;

d. penurunan pangkat dan jabatan akademik;

e. pemberhentian dengan hormat; atau

f. pemberhentian tidak dengan hormat.

(3) Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4) Dosen yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
(5) Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak membela diri.

Pasal 79

(1) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 63 ayat (4), Pasal 71, dan Pasal 75 diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi bagi penyelenggara pendidikan berupa:

a. teguran;

b. peringatan tertulis;

c. pembatasan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan; atau

d. pembekuan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 80

(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:

a. guru yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau guru yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.

b. dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau dosen yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.

(2) Tunjangan fungsional dan maslahat tambahan bagi guru dan dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 81

Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan guru dan dosen tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 82

(1) Pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(2) Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang ini wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.

Pasal 83

Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus diselesaikan selambat-lambatnya 18 (delapan belas) bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini.

Pasal 84

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal ----

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOESILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal ----

MENTERI HUKUM DAN HAM

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 157


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2005
TENTANG
GURU DAN DOSEN

I. UMUM

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan. Selanjutnya, Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur dalam undang-undang; (3) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (4) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; (5) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Salah satu amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.

Berdasarkan uraian di atas, pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai misi untuk melaksanakan tujuan Undang-Undang ini sebagai berikut:

1. mengangkat martabat guru dan dosen;

2. menjamin hak dan kewajiban guru dan dosen;

3. meningkatkan kompetensi guru dan dosen;

4. memajukan profesi serta karier guru dan dosen;

5. meningkatkan mutu pembelajaran;

6. meningkatkan mutu pendidikan nasional;

7. mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antardaerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi;

8. mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah; dan

9. meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.

Berdasarkan visi dan misi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, sedangkan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dosen serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Untuk meningkatkan penghargaan terhadap tugas guru dan dosen, kedudukan guru dan dosen pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi perlu dikukuhkan dengan pemberian sertifikat pendidik. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Dalam melaksanakan tugasnya, guru dan dosen harus memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya.

Selain itu, perlu juga diperhatikan upaya-upaya memaksimalkan fungsi dan peran strategis guru dan dosen yang meliputi penegakan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional, pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen; perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

Berdasarkan visi, misi, dan pertimbangan-pertimbangan di atas diperlukan strategi yang meliputi:

1. penyelenggaraan sertifikasi pendidik berdasarkan kualifikasi akademik dan kompetensi profesional;

2. pemenuhan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional yang sesuai dengan prinsip profesionalitas;

3. penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian guru dan dosen sesuai dengan kebutuhan, baik jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensi yang dilakukan secara merata, objektif, dan transparan untuk menjamin keberlangsungan pendidikan;

4. penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian para guru dan dosen;

5. peningkatan pemberian penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap guru dan dosen dalam pelaksanaan tugas profesional;

6. peningkatan peran organisasi profesi untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dan dosen dalam pelaksanaan tugas sebagai tenaga profesional;

7. penguatan kesetaraan antara guru dan dosen yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan guru dan dosen yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat;

8. penguatan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah dalam merealisasikan pencapaian anggaran pendidikan untuk memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional; dan

9. peningkatan peran serta masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen.

Pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional merupakan bagian dari pembaharuan sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya memperhatikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan, kepegawaian, ketenagakerjaan, keuangan, dan pemerintahan daerah.

Sehubungan dengan hal itu, diperlukan pengaturan tentang kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dalam suatu Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan guru dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.

Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.

Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.

Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Ayat (1)

huruf a

Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup guru dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

huruf b

Cukup jelas.

huruf c

Cukup jelas

huruf d

Cukup jelas.

huruf e

Cukup jelas.

huruf f

Cukup jelas.

huruf g

Cukup jelas.

huruf h

Cukup jelas.

huruf i

Cukup jelas.

huruf j

Cukup jelas.

huruf k

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan yang ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja.

Yang dimaksud dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah tambahan penghasilan sebagai komponen kesejahteraan yang ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan keluarga.

Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.

Yang dimaksud dengan tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada guru sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus.

Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Tunjangan profesi dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Tunjangan fungsional dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasal 18

Ayat (1)

Tunjangan khusus dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru adalah berupa kesempatan dan keringanan biaya pendidikan bagi putra-putri guru yang telah memenuhi syarat-syarat akademik untuk menempuh pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan dosen dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan dosen tetap adalah dosen yang bekerja penuh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu.

Yang dimaksud dengan dosen tidak tetap adalah dosen yang bekerja paruh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tidak tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan secara langsung adalah tanpa berjenjang.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 51

Ayat (1)

huruf a

Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dosen dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

huruf b

Cukup jelas.

huruf c

Cukup jelas.

huruf d

Cukup jelas.

huruf e

Cukup jelas.

huruf f

Cukup jelas.

huruf g

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 52

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan yang ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja.

Yang dimaksud dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah tambahan penghasilan sebagai komponen kesejahteraan yang ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan keluarga.

Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.

Yang dimaksud dengan tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus.

Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Ayat (1)

Lihat penjelasan Pasal 18 ayat (3)

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan bidang ilmu yang langka adalah ilmu yang sangat khas, memiliki tingkat kesulitan tinggi, dan/atau mempunyai nilai-nilai strategis serta tidak banyak diminati.

Yang dimaksud dengan dana dan fasilitas khusus adalah alokasi anggaran dan kemudahan yang diperuntukkan dosen yang mendalami ilmu langka tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45

Blogroll

Blogger templates

About